(Parlindungan Pardede)
Abstrak
Tulisan ini membahas sebuah studi kasus berupa penerjemahan dua bab pertama sebuah novel dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Pembahasan berhubungan dengan permasalahan-permasalahan yang timbul karena banyaknya perbedaan unsur-unsur budaya antara bahasa sumber (BS) dan bahasa target (BT) dan bagaimana permasalahan-permasalahan itu diatasi selama proses penerjemahan.
Pendahuluan
Tulisan ini didasarkan pada upaya mengadaptasi aspek-aspek budaya yang dilakukan sewaktu menerjemahkan Bab I dan II Animal Farm, novel terbaik karya George Orwell. Novel ini menarik dibaca, karena meskipun ceritanya merupakan fabel yang sederhana sehingga mudah dipahami, isu yang dihadirkan di dalamnya sangat serius. Melalui cerita yang sederhana itu, Orwell mengungkapkan pesan moral tentang hakikat kekuasaan yang mendalam. Walaupun ceritanya sederhana, novel ini merupakan sebuah satir politik yang mengkritik rejim-rejim totaliter secara umum dan Revolusi Rusia (atau Bolshevic) 1917 secara khusus. Alkiviadou dan Nordal (2003) menyatakan Animal Farm merupakan: “a political allegory of the Russian Revolution, particularly directed at Stalin's Russia.” Bahkan Orwell (1947) sendiri menyatakan bahwa novel ini diakarangnya sebagai upaya untuk menyatukan pembahasan isu politik dan tujuan artisik dalam satu kesatuan.
Animal Farm menceritakan pemberontakan yang dilakukan hewan-hewan penghuni peternakan Manor Farm terhadap pemiliknya, Mr. Jones. Semua hal dalam novel ini diungkapkan melalui sudut pandang para tokoh yang mayoritas terdiri dari hewan. Pemberontakan itu dipersiapkan sejak Old Major mengungkapkan realitas kehidupan kaum hewan di Manor Farm. Meskipun kebanyakan pekerjaan di peternakan itu dilakukan hewan, dan produksi peternakan yang dihaslkan berlimpah, para hewan hanya diberikan ransum makanan terbatas. Sedangkan manusia hidup dalam kemewahan. Selain itu, kaum manusia sering menyiksa, menyembelih, dan menjual kaum hewan.
Karena tidak diberi makan selama lebih dari dua puluh empat jam, suatu hari seluruh hewan mengamuk dan mengusir Jones dan seluruh pegawainya. Sejak saat itu para hewan menjadi penguasa, dan nama Manor Farm diganti menjadi Animal Farm. Dipimpin oleh kaum babi, seluruh hewan bekerja keras menangani seluruh tugas di peternakan. Akan tetapi cita-cita luhur revolusi—menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi kaum hewan tanpa campur tangan manusia—ternyata tidak terwujud. Meskipun sekarang peternakan itu diperintah oleh hewan (Napoleon), kondisi kehidupan para hewan ternyata justru semakin buruk. Bahkan pada akhir novel terungkap bahwa Napoleon mulai menjalin hubungan dengan peternakan lain milik manusia. Bahkan dia tidak dapat lagi dibedakan dari tamu-tamu manusia yang hadir dalam jamuan makan malam yang diselenggarakan Napoleon sebagai tuan rumah.
Meskipun ceritanya berbentuk fabel yang relatif sederhana, penerjemahan novel ini memberikan tantangan tersendiri mengingat statusnya sebagai satir terhadap Revolusi Rusia sehingga tidak dapat dilepaskan dari berbagai fakta sejarah revolusi tersebut. Agar makna atau pesan yang ingin disampaikan Orwel terjaga dalam teks target, kesejajaran antara berbagai peristiwa, tokoh, dan ide-ide yang terungkap dalam novel ini perlu diparalelkan dengan peristiwa, tokoh, dan ide-ide Revolusi Rusia.
Hakikat Penerjemahan
Teori penerjemahan klasik yang tetap diakui relevansinya hingga saat ini menyatakan bahwa tujuan utama setiap penerjemahan adalah mereproduksi makna atau pesan yang sama dengan yang dimaksudkan pengarang asli ke dalam bahasa sasaran. Akan tetapi pencapaian tujuan itu didekati dengan cara yang sangat kontras oleh konsep-konsep penerjemahan tradisional dan kontempoer. Menurut Hariyanto (2002) teori-teori penerjemahan yang muncul hingga tahun 1970-an cenderung menekankan pengalihbahasaan pesan dan makna dari BS ke BT dengan hanya mengandalkan penguasaan penterjemah atas kedua bahasa yang terlibat dan pemahamannya atas topik-topik yang diterjemahkan. Peran pemahaman budaya sama sekali tidak mendapat tempat dalam teori-teori tersebut secara umum. Barulah sejak tahun 1978 esensi pemahaman lintas budaya memperoleh tempat dalam teori penerjemahan, yang dipelopori oleh Even-Zohar dan diikuti oleh Toury (dalam James, 2002) yang menegaskan: “Translation is a kind of activity which inevitably involves at least two languages and two cultural traditions.". Kemudian, sejak tahun 1990, pendekatan-pendekatan kajian lintas budaya bahkan diterapkan secara ekstensif dalam bidang penerjemahan sehingga teori-teori penerjemahan masa kini cenderung bersifat interdisipliner (Mizani, 2005).
Kenyataan bahwa aktivitas penerjemahan yang dilakukan hingga tahun 1970-an didominasi oleh pengalihbahasaan teks-teks ilmiah dan teknis yang cenderung tidak melibatkan unsur-unsur budaya merupakan salah satu alasan pengabaian unsur-unsur budaya dalam konsep-konsep penerjemahan tradisional. Alasan kedua, Menurut Snell-Hornby (dalam Hariyanto, 2002), adalah adanya pandangan linguistik tradisional yang membuat garis pemisah antara bahasa dan realitas ekstralinguistik (budaya). Sedangkan pendekatan linguistik kontemporer memandang bahasa sebagai suatu bagian yang integral dari budaya. Sebagai contoh, Samovar et al. (1981: 3) menekankan:
Culture and communication are inseparable because culture not only dictates who talks to whom, about what, and how the communication proceeds, it also helps to determine how people encode messages, the meanings they have for messages, and the conditions and circumstances under which various messages may or may not be sent, noticed, or interpreted… Culture…is the foundation of communication.
Budaya dan Penerjemahan
Salah satu definisi kebudayaan paling populer diajukan oleh Tylor (dalam Croft, 1980: 531) yang menyatakan budaya sebagai seluruh buatan manusia yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, nilai-nilai moral, adat, dan kebiasaan maupun kemampuan lainnya yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Hal senada diajukan oleh Pusch (1981: 3), yang menyatakan bahwa kebudayaan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk nilai-nilai, kepercayaan, standar estetika, ekspresi linguistik, pola-pola berpikir, norma-norma bertingkah laku, dan gaya berkomunikasi. Khusus dalam konteks ilmu bahasa dan penerjemahan, Newmark (1988:94) mendefinisikan budaya sebagai cara hidup dan manifestasinya yang khas pada setiap komunitas yang menggunakan sebuah bahasa yang unik sebagai media ekspresi. Definisi ini mengindikasikan bahwa setiap kelompok masyarakat yang memiliki bahasa tersendiri pasti memiliki kebudayaan tersendiri pula. Seanada dengan Newmark, berbagai pakar ilmu bahasa dan penerjemahan lain juga menekankan hubungan erat antara bahasa dan budaya. Brown (1987: 123) menegaskan: “A language is a part of a culture and a culture is a part of a language; the two are intricately interwoven such that one can not separate the two without losing the significance of either language or culture”. Lotman (dalam James, 2002) mengatakan: "No language can exist unless it is steeped in the context of culture; and no culture can exist which does not have at its centre, the structure of natural language"
Definisi-definisi dan konsep budaya di atas memperlihatkan bahwa pemahaman interkultural tidak terpisahkan dari aktivitas penerjemahan. Selama melakukan aktivitasnya, penterjemah tidak hanya berhadapan dengan perbedaan-perbedaan morfologis, sintaksis, semantis tetapi juga perbedaan-perbedaan kultural antara BS dan BT. Bahkan, Nida (1964:130) menyatakan perbedaan kultural antara BS dan BT bisa menimbulkan kesulitan yang lebih rumit dibandingkan dengan perbedaan struktur bahasa. Sehubungan dengan itu, dapat disimpulkan bahwa dalam penerjemahan, pemahaman interkultural sama pentingnya dengan penguasaan kedua bahasa yang digunakan.
Klasifikasi Aspek Budaya dalam Penerjemahan
Menyadari esensi pemahaman lintas budaya dalam penerjemahan, berbagai ahli bidang penerjemahan telah berupaya meneliti perbedaan-perbedaan cultural diantara berbagai bahasa. Hasil-hasil penelitian itu sangat membantu pengembangan prosedur-prosedur penerjemahan dalam eangka mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul akibat perbedaan-perbedaan budaya. Salah satu konsep yang dilandaskan pada hasil-hasil penelitian tersebut adalah konsep ‘cultural words’ yang diajukan Newmark (1988: 95-102). Konsep ini mengungkapkan bahwa dalam sebuah teks seluruh aspek budaya diungkapkan dalam ‘cultural words’ tersebut. Aspek-aspek tersebut dapat diterjemahkan dalam berbagai cara sesuai dengan perannya dalam teks dan tujuan penerjemahan. Untuk mempermudah pemahaman. Newmark membagi aspek-aspek tersebut ke dalam kategori dan sub-kategori berikut.
Tabel 1: Lima Kategori Aspek Budaya Menurut Newmark
No | Kategori | Sub-Kategori / Elemen |
1 | Ekologi | flora, fauna, gunung, angin, daratan |
2 | Kebudayaan Material | makanan, pakaian, rumah, kota, sarana transportasi |
3 | Kebudayaan Sosial | Pekerjaan, liburan |
4 | Organisasi, adat-istiadat, Aktivitas, Konsep-konsep, kepercayaan | Pemerintahan, politik, acara-acara keagamaan, nilai-nilai artistik. |
5 | Kebiasaan dan | Gerak-gerik tubuh, kebiasaan |
Meskipun secara substansi tidak berbeda dengan kategori yang ditawarkan Newmark, kategori yang disusun Ping (dalam Mizani, 2005) terdiri dari empat kelompok berikut. Meskipun kategori ini memiliki empat kelompok, namun elemen-elemennya lebih sesuai dengan aspek-aspek budaya dalam konteks masa kini.
Tabel 2: Empat Kategori Aspek Budaya Menurut Ping
No | Kategori | Sub-Kategori / Elemen |
1 | Sitem Teknik dan Ekonomi | Ekologi (flora, fauna, gunung, angin, iklim, dll.), alat-alat produksi, perdagangan, pertanian, peternakan, industri, teknologi, sains, dan artefak. |
2 | Sistem Sosial | Kasta, kelas-kelas sosial, sistem kekerabatan (seks, pernikahan, pengasuhan anak, dll.), politik, hukum, pendidikan, olahraga, hiburan, adat-istiadat, dan sejarah. |
3 | Sistem Ide | Agama, folklor, nilai-nilai (moral, estetika, dll.), ideologi, pola-pola berpikir, dan kosmologi. |
4 | Sistem Linguistik | Fonologi dan bahasa tulis, tata-bahasa, semantik, dan pragmatik |
Strategi Penerjemahan Aspek Budaya
Untuk mengatasi kesulitan penerjemahan sebagai akibat adanya perbedaan budaya (cultural gap), Newmark (1988) menyarankan penggunaan tujuh strategi berikut. Pertama, naturalisasi, yang dilakukan dengan mengadopsi ‘cultural words’ dari BS dalam bentuk yang asli ke dalam BT untuk mempertahankan pesan atau makna yang dimaksudkan penulis BS. Kedua, ‘couplet’ atau ‘triplet’ dan ‘quadruplet’, yang, sama dengan naturalisasi, dilakukan dengan mentransfer kata asli dar BS ke BT untuk mencegah kesalahpahaman. Ketiga, netralisasi atau generalisasi, yang dilakukan dengan mengganti kata BS yang bermakna lebih sempit dengan kata BT dengan makna lebih luas. Dengan kata lain, netralisasi merupakan teknik parafrasa dalam tingkatan kata. Sebagai contoh, kata “shot” dalam kalimat “When shot, she was apparently taking a walk” dapat diparafrasa menjadi “terbunuh” dalam bahasa Indonesia. Keempat, penyetaraan deskriptif dan penyetaraan fungsional, yang digunakan untuk menjelaskan aspek-aspek kultural dengan cara menguraikan ukuran, warna, dan komposisi (deskriptif) atau aspek manfaat unsur kultural tersebut (fungsional).
Strategi kelima yang dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan penerjemahan sebagai akibat adanya perbedaan budaya adalah memberi penjelasan tambahan tentang aspek-aspek kultural tertentu melalui catatan kaki. Teknik keenam adalah penyetaraan cultural, yang dilakukan dengan menterjemahkan sebuah ‘cultural word’ ke dalam kata yang sepadan dalam BT. Sebagai contoh, istilah “selamatan” dalam kalimat “Dalam masyarakat Jawa bila seseorang wanita atau istri sedang hamil, menurut tradisi perlu diadakan bermacam-macam selamatan dan upacara-upacara lainnya” dapat diterjemahkan menjadi ‘traditional fiest’ dalam bahasa Inggris. Teknik ketujuh adalah kompensasi, yaitu teknik yang digunakan untuk mengatasi hilangnya makna tertentu, efek bunyi, efek pragmatik, atau metaphor dalam salah satu bagian sebuah teks. Sebagai contoh, kata “damned” dalam kalimat “He is a damned fool guy.” bisa diterjemahkan menjadi ‘sangat’.
Untuk melengkapi ketujuh strategi itu, konsep tentang tiga tiga strategi utama yang lazim digunakan dalam penerjemahan, terutama penerjemahan teks-teks non-sastra sangat baik diterapkan. Dalam beberapa poin, ketiga strategi ini tumpang tindih dengan tujuh strategi yang diajukan Newmark. Akan tetapi, ketiga strategi ini—penambahan informasi, penguranan informasi, dan penyesuaian struktur—sangat dibutuhkan terutama untuk menterjemahkan aspek-aspek budaya kategori sistem linguistik.
1. Penambahan Informasi
Dalam menerjemahkan, informasi yang tidak terdapat pada BS dapat ditambahkan pada teks BT. Menurut Newmark (1988: 91), informasi yang ditambahkan tersebut biasanya bersifat kultural (timbul karena perbedaan latar belakang budaya antara BS dan BT, teknikal (berhubungan dengan topik), atau linguistik (yang menjelaskan sifat kata yang arbitrer). Informasi yang ditambahkan tersebut bisa dimasukkan ke dalam teks dengan cara meletakkannya dalam tanda kurung, atau di luar teks (dengan menggunakan sebuah catatan kaki atau anotasi).
Adanya kemungkinan kebutuhan untuk mengubah makna implisit menjadi eksplisit merupakan penyebab lain diperlukannya penambahan informasi. Nida (1964: 227) menyatakan: 'important semantic elements carried implicitly in the source language may require explicit identification in the receptor language'. Contoh yang diberikan Nababan (2008) menjelaskan hal ini dengan baik. Dalam suatu konteks, makna implisit kalimat “This rule is to round to the nearest even number” dapat dipahami pembaca teks asli dengan mudah. Namun bila kalimat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, penambahan informasi “suatu angka yang berada pada dua batas kategori (a number lying between two categories) dan pengubahan jenis kata ‘dibulatkan’ (kata kerja aktif) menjadi ‘membulatkan’ perlu dilakukan untuk menghasilkan ungkapan yang benar secara gramatikal dan makna yang eksplisit bagi pembaca teks berbahasa Indonesia. Karena kata ‘membulatkan’ merupakan kata kerja transitif, sebuah objek diperlukan. Sehubungan dengan itu, kalimat di atas selengkapnya diterjemahkan menjadi: “Menurut aturan pembulatan ini, suatu angka yang berada pada batas dua kategori dibulatkan ke angka genap terdekat.” Jika diterjemahkan ulang ke dalam bahasa Inggris, kalimat itu menjadi: According to the rule, a number lying between two categories is rounded to the nearest even number.
Diperlukannya penambahan informasi juga disebabkan oleh kemungkinan untuk mengubah jenis kata ketika mentransformasi kalimat pasif menjadi aktif atau sebaliknya, pasif menjadi aktif (Nida, 1964: 227). Kata “cut” dalam “I cut my finger” merupakan kata kerja aktif. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata itu harus diubah menjadi kata passif “tersayat“ (was cut) dan penambahan kata-kata “oleh pisau” diperlukan untuk mengungkapkan bahwa hal itu terjadi karena kecelakaan.
2. Pengurangan Informasi
Menurut Baker (1992: 40) pengurangan informasi adalah "omission of a lexical item due to grammatical or semantic patterns of the receptor language" (Baker, 1992: 40). Dia menjelaskan bahwa strategi ini mungkin terdengar agak drastis, tapi dalam konteks tertentu penghilangan sebuah kata atau ungkapan dalam menterjemahkan justru diperlukan untuk mempermudah pemahaman makna secara dalam BT.
Dalam banyak kasus, pengurangan dibutuhkan untuk mencegah redundansi dan kekakuan ekspresi (Nida, 1964: 228). Sebagai contoh, kategori kata benda jamak dalam bahasa Ingris dipengauhi oleh faktor morfologis (seperti ‘child/children’, ‘mouse/mice’), dan factor fonologis (misalnya, ‘pen/pens’, ‘brush/brushes’, box/boxes’). Dalam kondisi tertentu, sebuah kata benda jamak juga diawali oleh sebuah penunjuk kejamakan, seperti ‘some novels’, ‘many children’, ‘six dogs’. Jika ‘ekspresi ganda’ seperti ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, redundansi akan terjadi. Dalam bahasa Indonesia, penjamakan dilakukan dengan pengulangan kata, seperti ‘buku-buku’, ‘kotak-kotak’ atau dengan menambahkan penunjuk kejamakan, seperti ‘beberapa buku’ atau ‘enam anjing’.
Penyesuaian struktural merupakan strategi penting lainnya yang digunakan untuk mencapai kesetaraan. Penyesuaian struktural, atau kadang-kadang disebut dengan istilah transposisi atau alterasi merujuk pada suatu perubahan bentuk dalam aspek gramatikal dari BT ke dalam BT (Newmark, 1988: 85). Similarly, Bell (1991: 6) states that to shift from one language to another is, by definition, to alter the forms. Perubahan bentuk itu bisa terjadi dalam bentuk perbahan kategori kata, jenis kata, atau susunan kata.
Newmark (1988: 85-87) membagi perubahan bentuk itu menjadi empat tipe. Pertama, perubahan dari bentuk tunggal ke dalam bentuk jamak atau dalam posisi adjektiva. Dalam bahasa Inggris, posisi adjektiva, sebagai contoh, bisa sebelum kata benda (misalnya, ‘a good book’) atau sebelum dan sesudah sebuah kata benda (misalnya, ‘a good book available in the bookstore’). Dalam bahasa Indonesia, adjektiva selalu diletakkan sesudah nomina. always comes before a noun. Oleh karena itu, ‘a good book’ dan ‘a good book available in the bookstore’ harus diterjemahkan menjadi ‘sebuah buku bagus’ dan ‘sebuah buku bagus yang tersedia di toko buku itu’. Kedua, transposisi yang dilakukan karena BT tidak memiliki struktur gramatikal BS. Dalam bahasa Inggris, sebagai contoh, kata-kata penghubung seperti ‘ however’ dan ‘nevertheless’ dapat diletakkan di awal atau akhir kalimat. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata penghubung seperti itu selalu diletakkan di awal sebuah kalimat. Ketiga, perubahan yang dilakukan bila terjemahan literal sudah benar secara gramatikal namun tidak sesuai dengan penggunaan bahasa secara natural. Sebagai contoh, kalimat “The man to whom she is talking on the phone is his younger brother who lives in Bogor” dapat diterjemahkan secara literal menjadi: “Laki-laki kepada siapa dia sedang berbicara di telepon adalah adiknya yang tinggal di Jakarta.” Terjemahan ini akurat di sisi isi tapi tidak sesuai dengan bahasa yang lazim. Oleh karena itu, terjemahan itu perlu disesuaikan menjadi: “Laki-laki yang sedang berbicara dengannya di telpon adalah adiknya yang tinggal di Jakarta. Keempat, perubahan yang dilakukan dengan cara menggantikan kekosongan leksikal virtual dengan sebuah stuktur gramatikal.
Selain keempat jenis transposisi di atas, penggantian jenis kata (yaitu perubahan dari suatu jenis kata ke jenis kata lainnya, atau dari kata menjadi frasa atau klausa) juga dibutuhkan karena adanya berbagai perbedaan gramatikal antara BS dan BT. Sebagai contoh, untuk menterjemahkan kalimat “The girl in red is my sister” ke dalam bahasa Indonesia, frasa ‘in red’ harus diubah menjadi sebuah klausa adjektiva “yang berbaju merah”. Untuk menterjemahkan kalimat “She is married with three young girls”, preposisi “with” karus diganti menjadi kata sambung “dan” dan kata kerja ‘mempunyai” perlu ditambahkan.
Analisis
Seperti telah dinyatakan sebelumnya, tulisan ini berfokus pada pembahasan tentang upaya-upaya mengadaptasi aspek-aspek budaya yang terdapat dalam Bab I dan II Animal Farm sewaktu teks tersebut diterjemakan kedalam bahasa Indonesia. Sebagaimana lazimnya penerjemahan karya sastra yang berupaya mempertahankan jalan cerita dan pesan dalam teks BT yang sesetara mungkin dengan yang asli (teks BS), penerjemahan yang dilakukan kepada dua bab pertama Animal Farm ini diusahakan sedapat mungkin mempertahankan fungsinya sebagai sebuah fabel dan sekaligus sebagai satir politik. Untuk mencapai tujuan itu, selama proses penerjemahan, penulis menemukan cukup banyak hambatan yang timbul sebagai akibat dari banyaknya aspek budaya di dalam novel ini yang sangat berbeda dengan budaya Indonesia secara umum.
Berikut ini adalah pemaparan tentang aspek-aspek budaya yang menimbulkan hambatan dalam penerjemahan dimaksud. Untuk mempermudah pembahasan, aspek-aspek budaya tersebut dikelompokkan dengan menggunakan kategori susunan Ping—sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya. Disamping menjelaskan kategorinya, pada saat yang sama, penjelasan tentang strategi yang digunakan untuk menerjemahkan masing-masing unsur juga diuraikan.
A. Penerjemahan Aspek Budaya Kategori Sistem Teknik dan Ekonomi
Sebagai sebuah fabel yang menggunakan puluhan binatang dari berbagai jenis sebagai tokoh dan sebuah peternakan di Inggris sebagai latar tempat, Animal Farm sarat dengan aspek-aspek budaya sistem teknik dan ekonomi. Termasuk didalamnya adalah unsur-unsur ekologi Inggris, pekerjaan dan alat-alat peternakan dan pertanian khas Inggris, bagian-bagian rumah dan bangunan lain di sebuah peternakan Inggris, maupun bagian tubuh, suara, gerak-gerik dan sifat-sifat setiap hewan yang dijadikan tokoh sebagaimana orang Inggris melihatnya. Berikut ini adalah rincian berbagai elemen aspek-aspek budaya sistem teknik dan ekonomi yang ditemukan dalam novel tersebut.
1. Ekologi
Salah satu unsur budaya kategori ekologi yang ditemukan dalam teks sumber adalah hubungan antara bulan Juni dengan panen rumput. Orwel (1945: 18) menulis: “June came and the hay was almost ready for cutting.” Secara literal penerjemahan tibanya bulan Juni tidak sulit dilakukan, tapi korelasi antara bulan Juni dan waktu untuk memanen rumput tidak begitu jelas dapat ditangkap oleh pembaca Indonesia mengingat rumput tumbuh dan dapat dipanen sepanjang tahun di negara yang beriklim tropis ini.
2. Peternakan, Pertanian, dan Artefak
Selain permasalahan korelasi antara bulan Juni dengan panen rumput, kutipan di atas juga mengungkapkan perbedaan kultural tentang pekerjaan di peternakan, yaitu pembudidayaan rumput khusus untuk makanan ternak. Bagi sebagian (jika tidak kebanyakan) orang Indonesia hal ini sulit dipahami karena rumput untuk makanan ternak di desa-desa di Indonesia pada umumnya “disediakan alam”, tidak ditanam dan dipanen secara terprogram. Orwel (1945: 18) menulis: “June came and the hay was almost ready for cutting.” Agar makna kutural dalam kalimat ini tetap dipertahankan dan sekalgus lebih mudah dipahami pembaca Indonesia, kata “cutting” diterjemahkan dengan teknik netralisasi menjadi “dipanen”.
Penggunaaan peternakan sebagai latar tempat membuat novel ini sarat dengan aktivitas, peralatan, bangunan, kandang ternak, produk, dan banyak unsur lain yang terkait dengan sub-kategori budaya ini. Sebagian dari unsur-unsur tersebut cukup lazim bagi orang Indonesia, tetapi sebagian lagi sangat asing. Beberapa unsur yang lazim dalam konteks budaya Indonesia adalah ‘barn’ (lumbung), ‘straw’ (jerami), ‘paddock’ (lapangan rumput kecil), ‘orchard’ (kebun buah-buahan), ‘perch’ (tempat bertengger), ‘plough’ (bajak) dan ‘pond’ (kubangan). Beberapa unsur yang tidak lazim dalam konteks budaya Indonesia sehingga menimbulkan masalah dalam penerjemahan adalah sebagai berikut.
a) ‘Manor’ (hal. 1), yang merujuk pada sebidang tanah yang digunakan dibawah sistem feodal. Sebagian tanah itu digunakan langsung oleh ningrat pemilik tanah dan sebagian lagi diusahakan oleh penyewa yang harus membayar dengan hasil panen dan tenaga. Dalam proses penerjemahan kata ini tetap dipertahankan (teknik naturalisasi). Tapi karena dalam novel ini frasa Manor Farm digunakan sebagai representasi Rusia sebelum pecahnya Revolusi Rusia di tahun 1917, kata ini juga diberi catatan kaki agar dapat diberikan informasi tambahan yang cukp banyak.
b) ‘barrel’ (hal. 1), yang diterjemahkan dengan teknik netralisasi menjadi ‘tong’. Di Inggris kata ini merujuk pada wadah yang digunakan untuk menyimpan bir. Karena benda seperti itu tidak lazim di Indonesia maka maknanya digeneralisasi menjadi ‘tong’, kata dengan makna terdekat walaupun di Indonesia fungsinya sangat beragam, seperti menyimpan beras atau air atau benda lainnya.
c) ‘scullery’ (hal. 1), yang diterjemahkan dengan teknik penyetaraan fungsional menjadi “ruang cuci piring.”
d) “hands” (hal. 6), yang diterjemahkan dengan teknik penyetaraan kultural menjadi “tangan” dan diberi informasi tambahan melalui anotasi untuk menjelaskan maknanya sebagai satuan ukuran; 1 tangan = sekitar 4 inci
e) ‘window sills’ (hal. 6), yang diterjemahkan dengan menggunakan teknik penyetaraan deskriptif ‘menjadi balok dasar jendela’. Frasa ini tidak lazim dalam budaya Indonesia karena jendela di Indonesia tidak menggunakan unsur tersebut.
f) ‘wheat’, ‘barley’ dan ‘oats’ (hal. 13), yang sama-sama merujuk pada ‘gandum’ tapi dengan spesifikasi berbeda. Karena tidak dibudidayakan di Indonesia, gandum hanya dikenal dengan satu nama. Sehubungan dengan itu, untuk mencegah salah tafsir, kata ‘barley’ dan ‘oats’ diadopsi ke dalam teks terjemahan dengan menggunakan teknik naturalisasi.
g) ‘bit’ dan ‘spur’ (hal. 13), yang secara berturut-turut diterjemahkan dengan teknik netralisasi menjadi “cincin pengekang” dan “pacu”. Kedua kata ini merupakan bagian dari peralatan kekang kuda.
h) ‘litograph’ (hal. 21), yang diterjemahkan menjadi ‘lukisan’ dengan menggunakan teknik penyetaraan cultural.
B. Penerjemahan Aspek Budaya Kategori Sistem Sosial
Sebagai satir politik yang secara khusus mengecam Revolusi Rusia dan komunisme yang melandasinya, novel ini mengandung banyak elemen-elemen budaya yang termasuk dalam kategori sistem sosial dan ide. Berikut ini adalah uraian beberapa elemen dalam kelompok ini yang ditemukan dalam teks sumber.
a) “Pak Jones” (hal. 1), yang dalam fabel ini berperan sebagai pemilik Manor farm, tapi dalam konteks Revolusi Rusia merepresentasikan Czar Nicholas II, kaisar terakhir Rusia. Dalam penerjemahan kata “Mr” diterjemahkan dengan teknik kesetaraan kultural menjadi “Pak”, sedangkan nama Jones tetap dipertahankan. Untk member informasi tambahan yang memadai, unsur ini diberikan catatan kaki.
b) “Clover” (hal. 6), diberikan informasi tambahan melalui anotasi karena peran pentingnya sebagai representasi kaum pekerja dan petani perempuan Uni Sovyet.
c) “Boxer” (hal. 6), diberikan informasi tambahan melalui anotasi karena peran pentingnya sebagai representasi kaum pekerja dan petani laki-laki Uni Sovyet
d) “Benjamin” (hal. 6), diberikan informasi tambahan melalui anotasi karena peran pentingnya sebagai perwakilan anggota masyarakat Uni Soviet yang menyadari kesewenang-wenangan Stalin tapi tidak melakukan apapun untuk menghentikannya.
e) “Mollie” (hal. 7), tokoh kuda betina yang sering dihiasi pita dan diberi makan gula (simbol kemewahan) oleh Jones. Dia diberikan informasi tambahan melalui anotasi karena peran pentingnya sebagai perwakilan kaum aristokrat yang dekat dengan keluarga Czar sehingga banyak memperoleh fasilitas kemewahan.
f) “comrades” (hal. 7), diterjemahkan dengan teknik kesetaraan kulturan menjadi “kawan-kawan” sambil diberi informasi tambahan melalui anotasi untuk menjelaskan penggunaannya sebagai sapaan khusus yang digunakan para anggota Partai Komunis Rusia kepada sesamanya.
g) “vote” (hal. 11), yang diterjemahkan menjadi kata dengan makna yang lebih sempit, yaitu “voting’.
h) “Beasts of England” (hal. 12), yang tetap dipertahankan dalam bentuk aslinya sambil diberi informasi tambahan melalui anotasi untuk menjelaskan bahwa dalam konteks Revolusi Rusia merujuk pada rakyat Rusia .
i) “Old Major” (hal. 15), diberi informasi tambahan melalui anotasi untuk menjelaskan bahwa dia merupakan representasi Karl Marxdan Lenin
C. Penerjemahan Aspek Budaya Kategori Sistem Ide
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sebagai satir politik yang mengecam Revolusi Rusia dan komunisme, Animal Farm mengandung banyak elemen-elemen budaya yang termasuk dalam kategori sistem ide. Berikut ini adalah uraian beberapa elemen dalam kelompok ini yang ditemukan dalam teks sumber.
a) “Rebellion” (hal. 10), yang diterjemahkan dengan teknik kesetaraan budaya menjadi “pemberontakan”. Even ini merupakan representasi Revolusi Rusia 1917.
b) “Animalism” (hal. 16), yang diterjemahkan dengan teknik naturalisasi sambil menyesuaikan ejaan menjadi “Animalisme”. Kata ini juga diberikan anotasi untuk menjelaskan fungsinya sebagai representasi komunisme. Dalam fable ini animalisme dikembanggkan berdasarkan ajaran Old Major. Dalam konteks Revolusi Rusia, animalisme merepresentasikan komunisme yang dekembangkan dari ajaran Karl Marx oleh V. I. Lenin. Jadi tokoh Old Major dalam novel ini merupakan representasi dari gabungan Karl Marx dan Lenin.
c) “Sugarcandy Mountain” (hal. 17), yang diterjemahkan dengan teknik kesetaraan kultural menjadi “Gunung Permengula” sambil menuliskan frasa asli dalam tnd kurung untuk mencegah penafsiran yang salah. Selain itu, frasa ini diberikan anotasi untuk menjelaskan fungsinya sebagai representasi Surga, ajaran Kristen Ortodok Rusia dan agama-agama lain, yang menurut Lenin merupakan racun bagi masyarakat. Moses, penyebar ajaran Sugarcandy Mountain merupakan representasi Gereja Kristen Ortodok Rusia di masa kekuasaan Czar.
d) “The Seven Commandments” (hal. 23), yang diterjemahkan dengan teknik kesetaraan kultural menjadi “Tujuh Perintah” sambil diberi anotasi untuk menjelaskan fungsinya sebagai representasi Konstitusi Uni Soviet.
D. Penerjemahan Aspek Budaya Kategori Sistem Linguistik
Karena Animal Farm ditulis sebagai fabel yang dapat dipahami kaum remaja, bahasa yang digunakan Orwel secara umum sangat serderhana dan lugas. Kata-kata digunakan (kecuali kata dan terminologi yang telah disebutkan pada analisis di atas) pada umumnya merupakan kosa kata sehari-hari. Meskipun demikian, sebagai akibat besarnya perbedaan kultural antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, penulis juga menemukan berbagai unsur linguisti yang mungkin mempengaruhi pemahaman pembaca Indonesia. Berikut ini adalah uraian beberapa elemen dalam kelompok ini yang ditemukan dalam teks sumber.
1. Penambahan Informasi
a) | Clover was a stout motherly mare approaching middle life, who had never quite got her figure back after her fourth foal. (hal. 6) |
| Terjemahan: Clover adalah kuda betina induk yang kuat yang sedang menjelang usia paruh baya. Dia tidak pernah benar-benar dapat mengembalikan bentuk tubuhnya seperti semula setelah melahirkan anaknya yang keempat. |
| Penjelasan: Dalam teks sumber, frasa ‘her fourth foal’ mengindikasikan makna melahirkan anak keempat. Agar makna ini eksplisit dlam bahasa Indonesia, frasa tersebut perlu diberi informasi tambahan sehingga berubah menjadi klausa. |
(b) | Mollie agreed, but she did not sound very convinced. (hal. 17) |
| Terjemahan: Mollie setuju, tapi dia kelihatannya tidak begitu berhasil diyakinkan. |
| Penjelasan Penggunaan frasa adjektiva “very convinced” dalam kalimat negatif ini secara implisit megemukakan makna pasif ‘tidak berhasil diyakinkan’. Untuk mengeksplisitkan makna itu dalam bahasa Indonesia, makna negatif yang ada lebih baik diungkapkan secara leksikal, bukan dalam tingkatan kalimat, sambil mengubah kalimat ke dalam bentuk pasif untuk menegaskan bahwa yang melakukan tindakan mencoba meyakinkannya adalah ‘tokoh lain’ dan menambahkan kata ‘berhasil’. |
(c) | …, and had taken to drinking more than was good for him. (hal. 18) |
| Terjemahan: …, dan sering minum minuman keras secara berlebihan. |
| Penjelasan Secara implisit kata ‘drink’ dalam bahasa Inggris mengungkapkan tindakan mengkonsumsi minuman beralkohol. Dalam bahasa Indonesia tidak ada asosiasi verba ‘minum’ dengan minuman beralkohol. Oleh karena itu, dalam teks target, penambahan kata ‘minuman keras’ dibutuhkan untuk memperjelas makna teks di atas. |
(d) | So were the whips. (hal. 20) |
| Terjemahan: Cambuk-cambuk juga dibakar di sana. |
| Penjelasan Kalimat ini berhubungan sangat erat dengan kalimat selanjutnya. Oleh karena itu, meskipun Orwell menggunakan inversi, maknanya cukup jelas bagi penutur asli bahasa Inggris. Akan tetapi dalam konteks bahasa Indonesia pesan dalam kalimat itu lebih baik diungkapkan melalui sebuah kalimat biasa. |
2. Pengurangan Informasi
(a) | It had been agreed that they should all meet in the big barn … (hal. 1) |
| Terjemahan: Telah disepakati bahwa mereka semua akan bertemu di bangsal besar … |
| Penjelasan Bahasa Inggris memiliki kalimat yang menggunakan ‘it’ sebagai Subjek yang kemudian diakhiri dengan klausa nomina yang dimulai dengan ‘that’ (Azar, 1993). Subjek ’it’ ini pada dasarnya tidak memiliki makna. Oleh karena itu, dalam teks target, subjek ‘it’ diabaikan. |
(b) | Now, comrades, what is the nature of this life of us? Let us face it: our lives are miserable, laborious, and short. (hal. 8) |
| Terjemahan: ‘Sekarang, kawan-kawan, apakah hakikat kehidupan kita ini? Mari kita lihat: hidup kita menyedihkan, kerja keras, dan singkat. |
| Penjelasan Dalam penerjemahan kutipan ini terjadi dua pengurangan informasi, yaitu penghapusan objek “it” dan penggantian nomina jamak “lives” menjadi nomina tunggal. Verba ‘face’ dalam kutipan ini merupakan verba transitif. Oleh karena itu, kata ganti ‘it’ dperlukan sebagai objek. Akan tetapi, verba itu dalam bahasa Indonesia bermakna ‘melihat’, yang bisa berfungsi sebagai verba transitif atau intransitif. Dalam teks target verba ini digunakan sebagai verba intransitive, sehingga objek “it” tidak diterjemahkan. Penggantian nomina jamak “lives” menjadi nomina tunggal disebabkan oleh kenyataan bahwa dalam logika bahasa Indonesia setiap mahluk hanya memiliki satu hidup. Oleh karena itu, kata itu harus berbentuk tunggal. |
(c) | …, and had taken to drinking more than was good for him. (hal. 18) |
| Terjemahan: …, dan sering minum minuman keras secara berlebihan. |
| Penjelasan Bila ungkapan “more than was good for him” dalam kalimat di atas diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia secara literal akan diperoleh ungkapan yang redundan. Tanpa mengurangi makna, secara kontekstual frasa “secara berlebihan” sudah merupakan padanan yang baik bagi ungkapan itu. |
(d) | … and all the animals began to help themselves from the bins. (hal. 18) |
| Terjemahan: … dan seluruh hewan mulai mengambil sendiri makanan dari kotak penyimpanan makanan. |
| Penjelasan Dalam bahasa Inggris sebuah kata benda jamak juga dapat diawali oleh sebuah penunjuk kejamakan seperti frasa “all the animals” dalam kalimat ini. Sedangkan bahasa Indonesia tidak mengenal ‘ekspresi ganda’ seperti ini. Penjamakan dalam bahasa Indonesia dilakukan melalui reduplikasi saja atau penggunaan penunjuk kejamakan saja. Sehubungan dengan itu, frasa “all the animals” diterjemahkan menjadi “seluruh hewan”. |
3. Penyesuaian Struktural
(a) | Mr Jones, of the Manor Farm, … (hal. 1) |
| Terjemahan: Pak Jones, pemilik Manor Farm, … |
| Penjelasan Dalam kalimat ini, preposisi “of” memiliki makna yang jelas bagi penutur asli bahasa Inggris. Bagi penutur bahasa Indonesia preposisi itu bersifat rancu. Oleh karena itu, kata tersebut diganti denga kata “pemilik”. |
(b) | They were unfailing in their attendance at the secret meetings in the barn, and led the singing of ‘Beasts of England’ with which the meetings always ended. (hal. 17) |
| Terjemahan: Kehadiran mereka pada pertemuan-pertemuan rahasia di lumbung tidak sia-sia, dan mereka selalu memimpim dalam menyanyikan ‘Beasts of England’, yang digunakan untuk mengakhiri pertemuan. |
| Penjelasan Untuk memberikan sentuhan artistik, dalam kalimat ini Orwell menggunakan frasa peposisional “in their attendance at the secret meetings in the barn” sebagai keterangan bagi predikat ‘unfailing’. Bagi pembaca Indonesia hal ini bisa membuat makna kalimat menjadi kabur. Oleh sebab itu, dalam teks target dilakukan perubahan dengan membuat subjek kalimat dalam bentuk frasa nomina. |
(c) | In past years Mr Jones, although a hard master, had been a capable farmer, but of late he had fallen on evil days. (hal. 18) |
| Terjemahan: Selama beberapa tahun belakangan, walaupun Pak Jones adalah tuan yang keras, dia telah menjadi petani yang lebih mahir. Namun akhir-akhir ini dia menjalani hari-hari yang sial. |
| Penjelasan: Dalam bahasa Inggris, kata-kata penghubung, seperi ‘although’, dapat diletakkan di awal (sebelum subjek) atau akhir kalimat (sesudah subjek). Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia kata seperti ini selalu diletakkan di awal kalimat. Oleh karena itu, dalam teks target, kata ‘walupun’ diletakkan sebelum ‘Pak Jones’, yang berfungsi sebagai subjek. |
(d) | The next moment he and his four men were in the store-shed with whips in their hands, lashing out in all directions. (hal. 18) |
| Terjemahan: Detik berikutnya dia dan empat pegawainya telah berada di gudang sambil memegang cemeti. Mereka mencambuk ke segala arah. |
| Penjelasan Dibandingkan dengan bahasa Indonesia, struktur bahasa Inggris lebih memungkinkan untuk membentuk konstruksi berulang dan subordinasi yang bersifat berulang (rekursif). Hal inimemunginkan penyusunan kalimat kompleks yang panjang dengan menggunakan banyak klausa tergantung. Dalam bahasa Indonesia kadang-kadang hal itu sulit dilakukan. Oleh sebab itu, kalimat diatas dipenggal menjadi dua kalimat. |
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan kultural anatara bahasa Ingris dan bahasa Indonesia membuat proses penerjemahan Bab I dan II novel Animal Farm cukup rumit. Apalagi perbedaan kultural itu mencakup seluruh aspek yang terdapat dalam kebudayaan. Kerumitan itu semakin kompleks karena novel ini bukan hanya fabel biasa, tetapi juga satir politik yang memiliki banyak kesejajaran dengan Revolusi Rusia. Akibatnya, penerjemahan novel ini menuntut paling tidak empat hal hal dari penterjemah: penguasaan yang baik atas bahasa Ingris dan bahasa Indonesia, kemahiran menerjemahkan, pemahaman lintas budaya antara budaya peternakan Inggris dan budaya Indonesia, dan pengetahuan tentang sejarah Revolusi Rusia.
Daftar Pustaka
Alkiviadou, Natalie and Nordal, Martin. 2003 Animal Farm: The Book. Diunduh pada tanggal 22 Oktober 2008 dari: http://www.animal-farm.8k.com
Azar, Betty Schrampfer. 1993. Understanding and Using English Grammar. Jakarta: Binarupa Aksara.
Bahameed, Adel Salem. 2008. “Hindrances in Arabic-English Intercultural Translation”. Diunduh pada tanggal 12 November 2008 dari: http://translationjournal.net/journal/43culture.htm
Baker, M. 1992. In Other Words: A Coursebook on Translation. London: Sage Publication.
Brown, H. Douglas. 1987. Principles of Language Learning and Teaching (2nd. ed.). New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Crof, Kenneth (ed.). 1980. Readings on English as a Second Language. Massachusetts: Winthrop Publishers, Inc.
Hariyanto, Sugeng. 2002. “The Implication of Culture on Translation Theory and Practice”. Diunduh pada tanggal 8 Oktober 2008 dari: www.TranslationDirectory.com
Iftinkar, Ahmad, et al. 1993. World Cultures: A Global Mosaic. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
James, Kate. 2002. “Cultural Implications for Translation”. Diunduh pada tanggal 8 Oktober 2008 dari: http://accurapid.com/journal/22delight.htm
Litwin, Peter. 2002. “The Russian Revolution”. Diunduh pada tanggal 12 November 2008 dari: mailto:pglitwin@u.washingtion.edu
Mizani, Samira. 2005. ”Cultural Translation”. Diunduh pada tanggal 8 Oktober 2008 dari: http://accurapid.com/journal/22delight.htm
Nababan. M.R. 2008. “Equivalence in Translation: Some Problem-Solving Strategies”. Diunduh pada tanggal 10 Desember 2008 dari: ProZ.com Translation Article Knowledgebase.
Newmark, P. 1991. About Translation. Great Britain: Longdunn Press, Ltd.
_______. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice-Hall International.
_______. 1981. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press
Nida, E. 1975. Language Structure and Translation. Standford, California: Standford University Press.
_______1964. Towards a Science of Translating. Leiden: Brill.
Orwell, George. 1996. Animal Farm. New York: Penguin Group.
_______. 1947. Why I Write. Diunduh pada tanggal 22 Oktober 2008 dari: http://www .animal-farm.8k.com/summary.htm
Pusch, Margaret D. (ed.) 1981. Multicultural Education: Cross Cultural Training Approach. Chicago: Intercultural Network Inc.
Riazi, Abdolmehdi. 2002. “The Invisible in Translation: The Role of Text Structure”. Diunduh pada tanggal 8 Oktober 2008 dari: www.TranslationDirectory.com
Samovar, L., Porter, R. & Jain, N. 1981. Understanding Intercultural Communication. Belmont, CA: Wadsworth.
Komentar
Posting Komentar