Langsung ke konten utama

PANDUAN PRAKTIS UNTUK MENGAJARKAN PERCAKAPAN BAHASA BATAK

Parlin Pardede
(FKIP-UKI Jakarta)


Pendahuluan
Dalam hidupnya, setiap orang perlu berkomunikasi dengan orang lain. Karena alat media komunikasi manusia utama adalah bahasa, maka setiap orang normal biasanya menguasai minimal satu bahasa, yaitu bahasa ibunya. Orang seperti ini disebut “monolingualis”, seperti “halak hita” yang seumur hidupnya tidak pernah keluar dari kampungnya, tidak pernah berhubungan dengan orang atau kebudayaan di luar Batak (baik melalui pendidikan, pergaulan, atau media—seperti buku, TV, Koran, radio, dll.). Tidak sedikit orang, khususnya yang berhubungan dengan orang atau budaya dari luar budayanya, yang menguasai dua, tiga, atau lebih banyak bahasa sekaligus, meskipun dengan tingkat penguasaan yang beragam. Setiap “Halak hita” yang merantau cukup lama ke Jakarta pasti menguasai minimal bahasa Batak (selanjutnya disingkat BB) dan bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI). Orang seperti ini disebut “bilingualis” Mungkin juga dia menguasai satu atau lebih bahasa lain, misalnya bahasa Sunda, atau bahasa Inggris. Orang seperti ini disebut “multilingualis”.
Karena menjadi monolingualis adalah hal yang ‘otomatis’, tidak sedikit orang menganggap bahwa mempelajari sebuah bahasa kedua, ketiga, dan seterusnya ‘gampang’’. Padahal pandangan ini tidak tepat. Mempelajari sebuah bahasa kedua, ketiga, dan seterusnya adalah pekerjaan yang rumit. Hal itu melibatkan dan sekaligus membutuhkan banyak hal. Namun sebelum membicarakan apa saja yang diperlukan untuk menguasai sebuah bahasa kedua, ketiga, dan seterusnya, mari kita lihat apa yang dimaksud dengan menguasai bahasa. Pemahaman tentang hal ini sangat diperlukan sebagai landasan untuk mempelajari bagaimana cara belajar dan, terutama, mengajarkan bahasa. Untuk mempermudah pembahasan, hal ini dapat ditinjau dengan melihat unsur-unsur yang dikuasai seorang penutur tentang bahasanya. Dalam kasus “halak hita”: Apa yang diketahui orang Batak tentang bahasa Batak?


Unsur-Unsur Bahasa yang Dikuasai Seorang Penutur
Unsur-unsur yang dikuasai setiap penutur asli (maupun pengguna yang kompeten) suatu bahasa dapat dibagi ke dalam empat komponen bahasa: pelafalan, kosa kata, kaidah-kaidah, diskursus, dan empat kemahiran berbahasa. Berikut adalah uraian singkat terhadap kelima poin ini.
1. Pelafalan
Penutur sebuah bahasa menguasai pelafalan (produksi) bunyi-bunyi bahasanya. Unsur ini ditentukan oleh tiga bagian: bunyi, tekanan, dan intonasi. Bunyi adalah suara-suara yang dihasilkan alat ucap manusia untuk mengungkapkan makna. Sebuah kata bisa dibentuk satu bunyi atau lebih, dan sebuah bunyi bisa merubah makna. Sebagai contoh, kata Indonesia [kamar] dan [kasar], berbeda hanya karena penggunaan /m/ dan/s/. Setiap bahasa biasanya memiliki bunyi-bunyi khusus, yang tidak terdapat dalam bahasa lain. Sebagai contoh, /e/ dalam BB berbeda dengan bahasa Sunda, seperti dalam kata “kedan” dan “peuyeum”. Biasanya, semakin jauh rumpun dua bahasa, semakin banyak perbedaan bunyi diantara keduanya. Jadi, perbedaan bunyi antara BB dengan BI lebih sedikit daripada dengan bahasa Inggris.
Agar dapat berkomunikasi dengan efektif, seseorang harus menggunakan pelafalan yang berterima dalam bahasa yang digunakannya. Karena alat-alat ucap manusia pada umumnya sama, setiap orang sebenarnya dapat memproduksi bunyi bahasa apapun dalam setiap bahasa manusia. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan bagi sebagian orang Batak untuk menggunakan lafal bahasa Indonesia yang “mar-rihit-rihit”. Yang diperlukan untuk memproduksi pelafalan yang berterima ini adalah keinginan untuk menggunakan lafal yang tepat dan latihan intensif.
Faktor usia memang mempengaruhi kecepatan penguasaan pelafalan. Anak-anak biasanya dapat memproduksi pelafalan bahasa kedua, ketiga, dan seterusnya dengan mudah. Sebaliknya, semakin tua seseorang semakin sulit baginya belajar menggunakan lafal bahasa lain dengan tepat. Hal ini terjadi karena dia sudah lama terbiasa dengan pelafalan bahasanya sendiri, sehingga lidahnya tidak lagi fleksibel untuk memproduksi pelafalan bahasa yang baru tersebut. Akan tetapi, semakin lama dan giat seseorang berlatih semakin cepat pula alat-alat ucapnya memproduksi pelafalan yang diharapkan. Jadi, asal memiliki kemauan berlatih, orang Batak yang lafal BI-nya “mar-rihit-rihit” tetap bisa memperbaiki lafal tersebut menjadi mulus seperti “halak ion”.
Setiap bahasa selalu berawal dari bahasa lisan. Bahasa tulis biasanya berkembang beberapa puluh, ratus atau ribu tahun kemudian. Dihubungkan dengan pengajaran bahasa, perlu dicatat bahwa tidak semua bahasa menggunakan pola satu lambang tertulis untuk satu bunyi. Oleh karena itu tidak selamanya setiap kata diucapkan sesuai dengan simbol-simbol tertulisnya. Semakin tua dan semakin banyak sumber serapan kata yang dimiliki sebuah bahasa, semakin ‘ngaco’ hubungan bahasa lisan dan bahasa tulisnya. Jangan heran kalau bahasa Inggris memiliki banyak kata yang hubungan bahasa lisan dan bahasa tulisnya ‘amburadul’. Sebagai bahasa yang tergolong muda BI (didasarkan pada bahasa Melayu), cenderung menerapkan pola satu lambang tertulis untuk satu bunyi. Karena memang diucapkan /setasiun/ dan /lampu/, kata Inggris ‘station’ dan ‘lamp’ diadopsi dan ditulis dalam bahasa Indonesia menjadi ‘setasiun’ dan ‘lampu’. Sebagai bahasa yang lebih tua, BB memiliki hubungan bahasa lisan dan bahasa tulis yang lebih “ngaco” daripada BI. Coba ucapkan contoh-contoh ini “humuntal”, “ndang huboto”, “tiop tanganhu”. Agar BB yang dipelajari tidak ‘janggal’ bagi penutur BB, perbedaan sistem bahasa lisan dan bahasa tulis perlu dipelajari.
Tekanan merupakan pembeda kualitas bunyi karena penggunaan tenaga pengucapan yang lebih besar, bunyi yang lebih panjang atau nada yang lebih tinggi pada kata atau suku kata tertentu dan sering dilambangkan dengan tanda (‘). Secara umum, perbedaan tekanan tidak membedakan makna dalam BI. Tetapi dalam BB, sebagian kata akan berubah makna jika tekanan dipindahkan, seperti dalam kata [‘bagas] dan [ba’gas] atau [‘huta] dan [hu’ta]. Meskipun tidak ditemukan terlalu banyak, pelajar BB perlu juga memahami fungsi tekanan dalam bahasa itu.
Intonasi mengacu pada naik turunnya nada dalam pelafalan kalimat. Untuk menggambarkan perubahan titinada, intonasi sering dinyatakan dengan angka (1,2,3,4), dengan perincian: angka (1) melambangkan titinada terrendah dan angka (4) yang tertinggi. Dalam BI, kalimat pernyataan biasanya menggunakan pola intonasi 2-3-1, sedangkan kalimat Tanya berpola 2-2-3. BB cenderung menggunakan pola yang kurang lebih sama.

2 1 3
(1) Gorga ada dimana?
2 3 1
(2) Dia di sekolah.
2 1 3
(3) Laho tudia hamu?
2 3 1
(4) Tu huta ni tulang.

2. Kosa Kata
Penutur sebuah bahasa juga menguasai sekumpulan kata yang digunakan untuk mengungkapkan makna dalam bahasanya. Jumlah dan ‘register’ (ragam) kata yang dimiliki setiap penutur berbeda-beda, tergantung pengalaman, pekerjaan, dan pendidikan seseorang. Jumlah kata orang yang memiliki pergaulan yang luas pasti lebih banyak daripada orang yang hanya “monggop di jabu.” Ragam bahasa (kata) Batak “Amang Sintua” pasti berbeda dengan “Preman Pasar Senen”. Kosa kata seorang sarjana pasti berbeda dari seorang lulusan SD. Register kata seorang guru matematika berbeda dengan “guru-huria”, dan ragam kata yang dimiliki seorang “raja hata” berbeda dengan “raja jalanan”.
Setiap kata dalam semua bahasa memiliki makna denotatif, yaitu makna ‘netral, atau makna kata yang diuraikan dalam kamus. Sebagian dari kata-kata itu memiliki makna konotatif atau kiasan. Penutur BB , misalnya, bisa membedakan makna kata [mohop] dalam dua kalimat berikut.

(1) Mohop hian ari, unang marmeami hamu di alaman! (denotatif)
(2) Mohop hian rohana mambege barita i (konotatif)
(3) Sibuk dope ibana pauli jabu nuaeng (denotatif)
(4) Ia tung pauli rupa mi. (konotatif)

Tanpa pengetahuan tentang kedua makna ini, komunikasi bisa tersumbat. Bahkan salah paham mungkin terjadi. Cerita tentang seorang Rusia (yang atheis) yang disuruh menerjemahkan salah satu ayat Alkitab, ”The spirit is willing but the flesh is weak” (“Gogo do anggo tondi, alai gale do anggo pamatang.”) menjadi: ”The vodka is good but the meat is poor” yang berarti: “Karas do Vodka (sejenis minuman beralkohol khas Rusia) i, alai nang tabo anggo jagal i” merupakan ilustrasi yang bagus.
Dalam konteks komunikasi sehari-hari (yang lebih mementingkan pertukaran informasi atau makna), penguasaan kata dan makna denotatif serta konotatifnya jauh lebih penting daripada komponen bahasa lainnya, seperti tata-bahasa dan diskursus. Dengan bermodalkan kata-kata dan bantuan bahasa isyarat dan konteks komunikasi, walaupun tidak disusun berdasarkan kaidah-kaidah yang baku, kita masih dapat saling memahami (seperti Tarzan). Sebagai contoh, anak Batak berusia 10 tahun yang lahir di Jakarta dan ‘mudik’ untuk pertama kalinya bisa meminta makan pada ‘ompungnya’ hanya dengan mengucapkan: “(Om)pung, male…male…” (sambil menunjuk-nunjuk perutnya). Oleh karena itu, kosa kata sebaiknya menjadi salah satu prioritas pembelajaran bahasa.

3. Tata Bahasa (Kaidah-Kaidah)
Rata-rata penutur BB akan mampu menyusun kumpulan kata [ho], [tu] [borhat] [Medan] [andigan] menjadi kalimat, “Andigan ho borhat tu Medan?”, bukan “Tu ho andigan Medan borhat” meskipun tidak dapat menjelaskan mengapa harus demikian. Hal ini terjadi karena setap penutur mengetahui tata-bahasa atau kaidah-kaidah yang mengatur bagaimana merangkai kata-kata menjadi frasa klausa, dan kalimat, meskipun bagi sebagian besar penutur pengetahuan itu berada dalam pikiran bawah sadarnya.
Bagi kebanyakan orang, kaidah-kaidah bahasa ibunya biasanya dipahami di bawah sadar, karena bahasa itu dikuasai melalui perolehan (tidak disengaja) bukan pembelajaran (disengaja). Sedangkan kaidah-kaidah bahasa kedua, khususnya bila bahasa itu dipelajari setelah seseorang berusia belasan tahun, harus dipahami melalui proses belajar yang disengaja. Jika tidak, dia akan sering membuat kesalahan karena kaidah tertentu dari bahasa ibunya mungkin akan diterapkannya dalam bahasa yang sedang dipelajari, padahal kaidah-kaidah itu sangat berbeda. Akibatnya, ungkapan yang dihasilkannya cenderung tidak berterima. Oleh karena itu, meskipun komunikasi masih dimungkinkan hanya dengan menggunakan kata-kata (tanpa tata-bahasa), penguasaan tata-bahasa akan memampukan pelajar menyusun kalimat-kalimat yang berterima. Jadi, unsur-unsur tata-bahasa juga perlu diajarkan agar pemelajar dapat membuat alimat-kalimat yang baik.

4. Diskursus
Agar dapat berkomunikasi dengan efektif, penguasaan pelafalan, kosa kata dan tata-bahasa belum memadai. Pengguna bahasa juga harus menguasai diskursus, yang terdiri dari strategi berkomunikasi dan azas kepatutan penggunaan ungkapan. Kedua hal ini merupakan rambu-rambu penggunaan bahasa yang tidak diatur oleh kaidah bahasa tetapi oleh aturan-aturan sosial atau norma-norma budaya para penutur. Sewaktu berbicara, seorang penutur tahu apa yang harus diucapkan terlebih dahulu dan apa kemudian. Dia tahu kapan harus merespon, kapan harus menyela, kapan harus berdiam diri. Dia juga tahu bahwa kata-kata tertentu ‘tabu’ diucapkan dalam situasi tertentu. Hal-hal seperti inilah yang disebut strategi komunikasi.
Sebagai contoh, penutur BB juga tahu bahwa ungkapan “Tarattuk uluna tu dakka ni hau” kurang pantas digunakan untuk menggambarkan orang yang dituakan. Sebaiknya, kata [uluna] diganti dengan [simanjujungna] untuk maksud tersebut. Untuk menjaga kesopanan, penutur BB tahu bahwa ungkapan “Boasa marbudari pamanganmu?” lebih patut daripada “Boasa marbudari babam?” Bisa kita duga dampak negatif yang timbul bila ungkapan yang tidak patut seperti ini diutarakan anak-anak kepada orang tua. Oleh karena itu, dalam pengajaran BB unsur-unsur diskursus sangat penting diajarkan.

5. Kemahiran Berbahasa (Mendengar, Berbicara, Membaca, Menulis)
Keempat komponen bahasa di atas—pelafalan, kosa kata, kaidah-kaidah dan diskursus—merupakan sarana bahasa yang digunakan untuk menyalurkan pesan. Semua sarana itu dipakai penutur dengan melalui penggunaan empat jenis kemahiran, yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Berdasarkan fungsinya, mendengar dan membaca dikelompokkan sebagai kemahiran reseptif (untuk menerima pesan), sedangkan berbicara dan menulis merupakan kemahiran produktif (untuk mengirm pesan). Dilihat dari medianya, mendengar dan berbicara merupakan kemahiran dalam bahasa lisan, sedangkan membaca dan menulis adalah kemahiran bahasa tulis. Pada dasarnya penggolongan-penggolongan ini bersifat teoritis. Dalam praktik, mendengar dan berbicara berlangsung secara simultan, sedangkan membaca dan menulis biasa dilaksanakan bersamaan.

Apa yang Harus Dipelajari Pelajar Bahasa?
Berdasakan pemaparan di atas, jelaslah bahwa untuk dapat menggunakan sebuah bahasa dengan baik, setiap pelajar bahasa harus mempelajari dan menguasai empat komponen bahasa tersebut (pelafalan, kosa kata, kaidah-kaidah, diskursus) agar mampu menggunakan empat kemahiran (mendengar, berbicara, membaca, dan menulis) dalam bahasa itu. Jika pembelajaran difokuskan pada percakapan, harus diingat bahwa setiap orang hanya dapat mengucapkan bunyi yang telah didengarnya. Hal inilah yang membuat orang yang tidak bisa mendengar secara otomatis tidak bisa berbicara. Hal itu juga yang membuat mengapa pembicara yang baik biasanya merupakan pendengar yang baik juga. Oleh sebab itu, di sebuah kelas percakapan kemahiran mendengar dan berbicara harus diberi porsi yang wajar. Bahkan, semakin asing bahasa yang dipelajari, harus semakin banyak waktu yang dialokasikan untuk melatih kemahiran mendengar.
Sebagai tambahan, perlu diingat bahwa berbeda dengan anak-anak kecil yang mampu mempelajari bahasa dengan mengandalkan pendengaran, remaja dan orang dewasa perlu melibatkan sebanyak mungkin inderanya agar dapat belajar dengan efektif. Oleh karena itu, meskipun fokus pembelajaran adalah percakapan, kemampuan membaca dan menulis mereka perlu diberdayakan untuk membantu. Kegiatan membaca melibatkan indera penglihatan, sedangkan aktivitas menulis melatih indera penglihatan dan kemampuan motorik. Selain itu, bacaan yang menarik juga sangat efektif digunakan untuk memicu diskusi atau debat, dan kedua aktivitas ini merupakan bentuk percakapan yang sangat komunikatif.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembelajaran Bahasa
Secara umum tingkat keberhasilan orang dalam mempelajari bahasa terlihat berbeda-beda. Bahkan sebagian orang kelihatan dapat menguasai satu atau lebih bahasa baru dengan mudah, sedangkan orang lain gagal, meskipun terlihat sudah belajar keras. Apakah orang dilahirkan dengan bakat yang berbeda-beda di bidang penguasaan bahasa? Hasil-hasil penelitian di bidang ilmu bahasa memperlihatkan bahwa setiap individu yang lahir dengan alat-alat ucap yang normal memiliki potensi untuk menguasai berbagai bahasa.
Penelitian-penelitian di bidang psikologi dan pengajaran bahasa memperlihatkan bahwa penguasaan bahasa memang berhubungan dengan belahan otak kanan. Penelitian juga mengungkapkan kaum perempuan cenderung lebih banyak menggunakan otak belahan kanan, sedangkan kaum laki-laki cenderung lebih banyak menggunakan belahan otak kiri. Pada masa balita, anak perempuan memang cenderung lebih cepat menggunakan bahasa daripada anak laki-laki. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya perbedaan penguasaan tersebut cenderung semakin kabur. Faktor kecerdasan (IQ) jelas berkontribusi terhadap pembelajaran apapun, termasuk bahasa. Akan tetapi, karena semua individu yang normal (yang mayoritas ber-IQ rata-rata) dapat menguasai minimal bahasa ibunya dengan baik, dapat dikatakan kontribusi IQ terhadap pembelajaran bahasa kedua, ketiga, dan seterusnya tidak begitu signifikan.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa faktor bakat (kalau memang ada) dan IQ tidak berpengaruh begitu signifikan dalam keberhasilan mempelajari bahasa. Dengan demikian, setiap individu yang normal dan ber-IQ rata-rata pada dasarnya memiliki potensi yang sama untuk sukses menjadi bilingualis maupun multilingualis. Jika demikian halnya, mengapa sebagian orang berhasil dalam mempelajari bahasa dan sebagian lagi gagal?
Menurut penelitian-penelitian di bidang pengajaran bahasa, terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan pelajar bahasa: motivasi, kondisi dan suasana tempat belajar, metode pengajaran, dan kompetensi guru. Keempat faktor ini memang berlaku dalam pengajaran bahasa di sekolah-sekolah formal. Meskipun demikian, hingga pada tingkatan tertentu, masing-masing faktor tersebut perlu dan baik untuk dipertimbangkan dalam program pengajaran bahasa secara informal.

1. Motivasi
Motivasi adalah sejenis dorongan internal yang membuat seseorang tetap “berlari” untuk mencapai tujuannya. Individu yang telah memiliki tujuan atau sasaran yang menarik, dia akan menerobos dan mengatasi segala rintangan untuk mencapai tujuan itu. Dalam pembelajaran bahasa, motivasi bisa berbentuk intrinsik atau ekstrinsik. Motivasi intrinsik berhubungan dengan segala hal yang ada di dalam kelas, seperti memperoleh nilai tinggi, mendapat pujian guru, atau dikagumi teman sekelas.
Motivasi ekstrinsik berhubungan dengan segala hal yang ada di luar kelas. Motivasi ini masih dibagi ke dalam dua jenis: motivasi integratif dan motivasi instrumental. Motivasi integratif timbul karena adanya ketertarikan pada kebuayaan bahasa yang dipelajari atau keinginan untuk berinteraksi dengan penutur bahasa yang dipelajari. Dalam konteks pengajaran BB, motivasi integratif merupakan dorongan yang timbul (atau ditumbuhkan) oleh ketertarikan pada budaya Batak maupun keinginan berinteraksi dengan masyarakat Batak. Penyelenggara kursus BB perlu memikirkan bagaimana menumbuhkan motivasi integratif ini dalam diri para pelajarnya.
Motivasi instrumental merupakan dorongan yang timbul dari keyakinan bahwa penguasaan bahasa yang dipelajari akan memberikan keuntungan tertentu, seperti pekerjaan, posisi, penghasilan atau status sosial yang lebih baik. Motivasi inilah yang paling dominan mendorong jutaan orang Indonesia mempelajari bahasa Inggris. Penyelenggara kursus BB perlu menunjukkan kepada para pelajarnya keuntungan apa saja yang bisa mereka peroleh jika berhasil menguasai BB.

2. Kondisi Fisik Dan Suasana Tempat Belajar
Kondisi fisik tempat belajar sangat mempengaruhi prestasi pelajar. Ruangan yang nyaman, tidak berisik, dan memiliki penerangan dan alat-alat yang memadai sangat dibutuhkan. Selain itu, suasana psikologis tempat belajar juga harus diperhatikan. Kelas yang dipenuhi keramahtamahan, sikap saling mendukung, dan kegembiraan mutlak dibutuhkan pelajar ketika mereka harus “bergulat” untuk mengucapkan kata-kata dan ungkapan “aneh” bahasa yang dipelajari.
3. Metode Pengajaran
Tenik atau metode pengajaran yang “itu-itu melulu” akan membosankan. Kebosanan akan mematikan motivasi dan kreativitas. Oleh karena itu, metode pengajaran di kelas bahasa harus variatif, menarik, dan sekaligus menantang. Bidang inilah yang akan difasilitasi dalam bagian-bagian berikut tulisan ini.

4. Kompetensi Guru
Dalam kelas bahasa, terutama kelas yang formal, guru memiliki peran yang strategis. Secara umum, jika pelajar menyenagi gurunya, dia cenderung akan sukses dalam pelajaran itu. Sebuah penelitian di berbagai SMP dan SMA di Amerika menunjukkan bahwa sepuluh kualitas guru bahasa yang paling diinginkan pelajar adalah sebagai berikut (nomor urut menunjukkan skala prioritas: 1=paling penting, 10=kurang penting). Sebagian dari poin kualitas itu tumpang tindih, namun kesepuluh poin ini dapat memberi gambaran tentang seorang guru bahasa yang kompeten menurut persepsi pelajar.

(1) Dapat membuat pelajaran menjadi menarik.
(2) Menggunakan pelafalan yang baik.
(3) Menjelaskan materi pelajaran dengan baik.
(4) Dapat berbicara dalam bahasa yang dipelajari dengan jelas.
(5) Ramah dan menyukai semua pelajar.
(6) Kreatif dan inventif dalam menggunakan media pembelajaran.
(7) Dapat mendorong semua pelajar untuk berpartisipasi aktif.
(8) Menunjukkan kesabaran yang tinggi.
(9) Menjelaskan tip-tip yang jitu untuk menguasai materi pelajaran.
(10) Mengajak pelajar mempraktekkan percakapan dalam bahasa yang dipelajari.

Meskipun hasil penelitian ini menggambarkan keinginan remaja Amerika, tidak ada salahnya jika temuan itu juga digunakan sebagai pertimbangan untuk mengajar remaja-remaja Batak, sambil menunggu hasil penelitian sejenis tentang remaja Batak.

Mengajarkan Percakapan
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, percakapan (berbicara) merupakan salah satu bentuk kemahiran bahasa yang dapat direalisasikan dengan menggunakan pelafalan, kosa-kata, tata-bahasa, dan diskursus sebagai sarana atau ‘bahan’. Jadi, mengajarkan percakapan berarti mengajarkan unsur-unsur keempat sarana tersebut, khususnya unsur-unsur yang berhubungan dengan kemahiran berbicara.

Tahapan-Tahapan Pengajaran Percakapan
Fungsi utama bahasa, yang direalisasikan melalui keempat kemahiran berbahasa (termasuk percakapan), adalah sebagai sarana komunikasi. Sehubungan dengan itu, tujuan pengajaran percakapan yang paling pokok adalah memampukan pelajar menggunakan percakapan sebagai media komunikasi. Untuk mencapai tujuan itu, sebuah pengajaran percakapan sebaiknya dirancang dalam empat tahapan: manipulaif—semi-manipulatif—semi-komunikatif—komunikatif.
Intensitas masing-masing tahapan tergantung pada tingkat kompetensi pelajar. Bagi para pelajar tingkat dasar (elementary), tahapan manipulatif diberikan porsi waktu dan aktivitas yang lebih banyak, setelah itu baru bergerak ke tahapan semi manipulaif dan semi-komunikatif. Tahapan komunikatif mungkin belum sesuai dilaksanakan untuk kelas pemula mengingat penguasaan mereka yang masih sangat terbatas. Bagi para pelajar tingkat menengah (intermediate), tahapan manipulatif mungkin masih dibutuhkan, tapi alokasi waktu dan aktivitasnya tidak begitu banyak. Pengajaran untuk tingkat ini akan lebih didominasi oleh tahapan semi-manipulatif dan semi-komunikatif, yang kemudian dilanjutkan pada tahapan komunikatif. Bagi para pelajar tingkat atas (advanced), pembelajaran tidak lagi diawali dengan tahapan manipulatif dan semi-manipulatif, tapi langsung ke tahapan semi-komunikatif sebagai ‘pengantar’ dan kemudian tahapan komunikatif. Berikut ini adalah penjelasan singkat untuk masing-masing tahapan tersebut.

1. Tahapan Manipulatif
Tahapan ini diarahkan untuk memampukan pelajar memproduksi kata-kata, frasa, klausa, atau kalimat dengan pelafalan dan pemahaman makna yang baik. Oleh sebab itu, aktivitas pengajaran berpusat pada drills dan penjelasan-penjelasan yang dibutuhkan tentang makna atau struktur kalimat. Melalui aktivitas-aktivitas ini, pelajar diharapkan dapat memproduksi ungkapan-ungkapan yang dipelajari dan sekaligus memahami maknanya. Sebagai contoh, guru dapat mengawali pengajaran dengan menuliskan kalimat “Si Dame mangalompa jagal.” di papan tulis, atau karton tempel, atau slide. Setelah itu, dia membaca kalimat tersebut beberapa kali (ada baiknya sambil menunjukkan sebuah gambar seorang gadis sedang memasak—untuk memberikan “petunjuk” tentang makna. Karena bentuk tertulis kata “mangalompa” memiliki perbedaan dengan pelafalannya /mangaloppa/, pengucapan kata yang satu ini mungkin perlu diulang-ulang. Setelah itu, secara berkelompok, pelajar disuruh mengucapkan kata per kata, dan selanjutnya seluruh kalimat, berulang-ulang. Kemudian, masing-masing pelajar disuruh melafalkannya secara individual hingga seluruh pelajar dapat melakukannya dengan benar. Kegiatan drill berkelompok dan indivdual ini dapat diselingi dengan penjelasan tentang makna kata demi kata dan makna keseluruhan kalimat. Membandingkan kalimat itu dengan meletakkan terjemahannya dalam BI bisa dilakukan untuk membantu pelajar melihat kesamaan struktur BB dan BI dalam ungkapan itu. Jika kalimat itu sudah dikuasai pelajar, pengajaran dapat dialihkan pada kalimat lain.
Untuk kelas dengan penguasaan BB yang sedikit lebih tinggi, materi yang digunakan dapat lebih rumit, seperti kalimat majemuk, kutipan dialog, penggalan lagu, dan lain-lain. Berikut ini adalah contoh penggunaan dialog singkat untuk tahapan manipulatif.

X: Horas! Ise do goarmu?
Y: Horas! Goarhu Saor.
X: Aha margam, Saor?
Y: Siregar Molo ho, ise do goarmu?
X: Goarhu Poltak, marga Simanjuntak.

Latihan pelafalan materi dialog ini dapat dibuat bervariasi. Sebagai contoh, bagian X dilafalkan oleh pelajar pria, dan bagian Y oleh pelajar perempuan. Setelah itu, seorang pelajar disuruh melafalkan bagian X dan pelajar lain, bagian Y.
2. Tahapan Semi-Manipulatif
Bila tahapan manipulatif terfokus pada pelatihan pelafalan dan pemahaman makna kalimat yang disediakan guru, tahapan semi-manipulatif diarahkan pada kemampuan yang lebih tinggi, yaitu mengganti informasi dalam kalimat model dengan informasi yang relevan yang diketahui pelajar. Sebagai contoh, setelah memahami makna dan mampu mengucapkan kalimat “Si Dame mangalompa jagal.” dengan baik, pelajar disuruh mengganti pokok kalimat (subyek) dengan kata lain. Kata-kata seperti “Si Tiur”, “Inongku”, “Nantulangku” adalah pengganti yang relevan sebagai subyek. Pada tahap selajutnya pelajar disuruh mengganti obyek “jagal”. Hal yang sama dapat dilakukan pada kata kerja (verba) “mangalompa”. Dengan demikian, dalam waktu yang tidak terlalu lama akan terbentuk berbagai kalimat, seperti “Si Tiur mangalompa jagal”, “Inongku mangalompa indahan”, “Anggikku mangallang lampet” dan lain-lain.
Tahapan manipulatif juga dapat menggunakan materi berupa dialog, cerita singkat (anekdot), atau syair lagu yang kata-katanya dapat diganti-ganti. Yang penting pelajar benar-benar sudah benar-benar memahami makna dan dapat melafalkan materi-materi tersebut dengan baik. Sebagai contoh, dialog pendek diatas dapat digunakan dengan menyuruh siswa mengucapkan setiap kalimat sesuai dengan informasi pribadinya. Dengan demikian, dialog itu akan berubah menjadi seperti ini.

X: Horas! Ise do goarmu?
Y: Goarhu Idama.
X: Boru aha ho, Idama?
Y: Boru Sitanggang Molo ho, ise do goarmu?
X: Goarhu Jalipar, marga Naibaho.

3. Tahapan Semi-Komunikatif
Berbeda dengan dua tahapan sebelumnya, tahapan semi-komunikatif menggunakan lebih banyak menggunakan materi atau ungkapan yang sudah dikuasai pelajar. Materi dari guru hanya berfungsi sebagai pemicu untuk ‘menggali’ ungkapan siswa. Materi seperti ini dikenal dengan materi pembentuk “kesenjangan informasi” (information gap). Salah satu bentuk materi kesenjangan informasi adalah kalimat tanya yang dijawab dengan “Ya” atau “Tidak”. Lihat contoh berikut.
Guru: Bereng hamu tu son (memperlihatkan selembar kertas terlipat yang didalamnya sudah dituliskan nama seseorang yang terkenal). Goar ni ise do na husurat dison? Asa boi hamu ‘manebak’, baen hamu sungkun-sungkun tu ahu. Alai alus hu tu sungkun-sungkun muna i holan ‘Ido’ manang ‘Daong’.
Pelajar 1: (Martudu) Halak Batak do Ibana?
Guru: Ido.
Pelajar 2: (Martudu) Di Medan do hutana?
Guru: Daong.
Pelajar 3: (Martudu) Di Jakarta do hutana?
Guru: Ido.
Pelajar 4: (Martudu) Na parende do ibana?
Guru: Daong.
Pelajar 5: (Martudu) Na anggota DPR do ibana?
Guru: Ido.
Pelajar 6: Sabam Sirait do ibana?
Guru: Ido. Toho ma angka na malo hamu sudena.
Informasi yang harus ditebak mesti disesuaikan dengan wawasan, hobi, dan pengalaman para pelajar. Informasi itu sebaiknya tidak terlalu mudah tapi juga tidak terlalu sulit. Dengan demikian, aktivitas itu tetap menyenangkan dan sekaligus menantang.

4. Tahapan Komunikatif
Tahapan ini diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pelajar menggunakan BB sebagai sarana pengungkapan informasi, pikiran, dan perasaan. Bila dalam tahapan semi-komunikatif porsi peran guru masih cukup dominan, dalam tahapan komunikatif guru hanya berperan sebagai ‘fasilitator’. Aktivitas percakapan benar-benar didominasi oleh pelajar. Sebagai contoh, seorang pelajar disuruh membuat kata pengantar tentang pengalamannya berlibur di Danau Toba. Setelah itu, siswa lain disuruh mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mengetahui kisah tentang liburan di Danau Toba itu secara lengkap. Pada saat-saat tertentu, jika benar-benar dibutuhkan, Guru dapat memperbaiki ungkapan siswa. Lihat ilustrasi berikut.

Pelajar 1: Tingki libur singkola bulan na salpu. Borhat do hami tu Parapat. Tolu …
Guru: (Memotong pembicaraan sambil tersenyum) Sahat di si ma jolo, kedan. Saonnari, hatorangan silehononmu ingkon sesuaihononmu dohot sungkun-sungkun ni angka dongan, ate.
Pelajar 1: Nauli, Bapa.
Pelajar 2: Ise donganmu laho tu Parapat?
Pelajar 1: Opat halak hami borhat tu si—Amongku, Inongku, dohot ibotongku.
Pelajar 2: Piga leleng hamu di Parapat?
Pelajar 1: ………………….
Pelajar 3: Hea do ho berenang di Tao i?
Guru: Mansai denggan do sungkun-sungkun mi, Tiopan. Alai, aha do hata Batak ni ‘berenang’?
Pelajar 3: O…, I do, tahe. Mauliate, Bapa. (Lalu mengulangi pertanyaannya) Hea do ho marlange di Tao i?

Beragam materi dapat digunakan secara bergantian pada tahapan ini. Kriteria yang perlu digunakan sebagai pertimbangan adalah kesesuaian materi dengan wawasan, hobi, dan pengalaman para pelajar. Pelajar yang sudah berada di tingkatan atas juga perlu difasilitasi dengan berbagai jenis referensi berbahasa batak untuk memperkaya pengetahuan mereka tentang bahasa dan budaya Batak. Daftar berikut berisikan alternatif materi yang dapat digunakan pada tahapan komunikatif.

(1) Mengapresiasi lagu-lagu yang diketahui pelajar dengan baik, misalnya “O, Tano Batak”, “Sai Anju Ma Ahu”, dan lain-lain.
(2) Melakukan negoisasi tentang “lima benda yang paling dibutuhkan ketika mendaki gunung”, “Lima profesi yang paling dihargai di dunia”, “lima hal yang paling berharga dalam hidup”, dll.
(3) Berdebat tentang topik-topik yang kontroversial, seperti: “Ndang denggan molo karejo angka ina na marpese-pese”, “Pajongjong Tambak di Bona Pasogit”, dll.
(4) Mengutarakan pemahaman pribadi tenang umpasa Batak, seperti “Ompunta sijolo-jolo tubu matungkuthon sialagundi. Napinungka ni angka na parjolo siihuthonon ni na parpudi.”
(5) Mengapresiasi cerita pedek, biografi, film, dll.
(6) Berpidato tentang topik-topik yang menarik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSIKOLOGI PESAN

Parlindungan Pardede (7326080569) Pendahuluan Semua komunikasi interpersonal, dari yang sederhana hingga yang rumit, berlangsung dengan prinsip yang sama: makna dikirim melalui pesan verbal dan nonverbal dari komunikator kepada komunikate. Indikator keberhasilan komunikasi adalah jika makna pesan yang diterima komunikate sama dengan makna yang dikirim komunikator. Sebaliknya, komunikasi akan gagal bila makna pesan yang diterima komunikate berbeda sebagian atau seluruhnya dengan makna yang dikirim komunikator. Makalah ini membahas pesan dalam konteks komunikasi interpersonal. Pembahasan diawali dengan uraian tentang pesan verbal, termasuk pengertian, unsur dasar, kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya sebagai sarana transmisi makna, termasuk word barrier . Setelah itu pembahasan diarahkan pada uraian tentang pesan nonverbal, yang mencakup pengertian, fungsi, tinjauan psikologis terhadap perannya dalam komunikasi, dan jenis-jenis pesan nonverbal. Konsep-konsep

MENULIS DENGAN KUTIPAN

Parlindungan Pardede A. Pengertian Kutipan Dalam penulisan karya ilmiah, seperti artikel, jurnal, skripsi, maupun disertasi, seringkali digunakan berbagai kutipan--pinjaman pendapat atau ucapan seseorang—untuk mendukung, menjelaskan, membuktikan, atau menegaskan ide-ide tertentu. Pada umumnya kutipan bersumber dari bahan-bahan tertulis, seperti buku, majalah, jurnal, surat kabar, dan website. Akan tetapi, kutipan juga bisa diambil dari penuturan lisan, seperti wawancara, pidato, atau ceramah. Dalam penulisan ilmiah, kutipan yang didasarkan pada penuturan lisan biasanya perlu dimintakan pengesahannya dari penutur yang bersangkutan. Tanpa pengesahan, kutipan seperti ini sering diragukan keabsahannya. Penggunaan kutipan dalam suatu tulisan merupakan suatu hal yang wajar dan bahkan sangat efektif untuk menghemat waktu. Adalah suatu pemborosan waktu bila seorang penulis harus menyelediki kembali suatu kebenaran yang telah diteliti, dibuktikan dan dimuat secara luas dalam sebuah buku, majala