Langsung ke konten utama

PSIKOLOGI PESAN

Parlindungan Pardede

(7326080569)

Pendahuluan

Semua komunikasi interpersonal, dari yang sederhana hingga yang rumit, berlangsung dengan prinsip yang sama: makna dikirim melalui pesan verbal dan nonverbal dari komunikator kepada komunikate. Indikator keberhasilan komunikasi adalah jika makna pesan yang diterima komunikate sama dengan makna yang dikirim komunikator. Sebaliknya, komunikasi akan gagal bila makna pesan yang diterima komunikate berbeda sebagian atau seluruhnya dengan makna yang dikirim komunikator.

Makalah ini membahas pesan dalam konteks komunikasi interpersonal. Pembahasan diawali dengan uraian tentang pesan verbal, termasuk pengertian, unsur dasar, kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya sebagai sarana transmisi makna, termasuk word barrier. Setelah itu pembahasan diarahkan pada uraian tentang pesan nonverbal, yang mencakup pengertian, fungsi, tinjauan psikologis terhadap perannya dalam komunikasi, dan jenis-jenis pesan nonverbal. Konsep-konsep tentang kedua jenis pesan itu diharapkan dapat menjadi landasan yang memadai untuk membahas apa yang dimaksud dengan makna dan hubungan makna dan pesan pada bagian selanjutnya. Setelah itu, makalah ini diakhiri dengan begian kesimpulan. Dalam makalah ini istilah komunikan, komunikator, dan komunikate didasarkan pada batasan Rahmat (2005: 5) yang mendefinisikan komunikan sebagai individu peserta komunikasi, komunikator sebagai orang yang memulai komunikasi (peyampai pesan), dan komunikate sebagai pihak yang menerima komunikasi (penerima atau pendengar pesan).

Peran Pesan dalam Komunikasi

Laswell (dalam Rahmat, 2005: 254) menggambarkan komunikasi sebagai “Who says What In Which Channel To Whom With What Effect”. Pernyataan ini mengungkapkan bahwa pesan (the What) merupakan salah satu unsur yang penting dalam komunikasi. Tujuan komunikasi (memberi informasi, membujuk, menghibur, mempengaruhi, dan sebagainya) akan tercapai bila makna pesan yang disampaikan komunikator sama dengan makna yang diterima komunikate. Untuk mencapai tujuan itu, pesan yang disampaikan biasanya diungkapkan melalui perpaduan antara pesan verbal dan nonverbal.

Pesan Verbal

Pesan verbal atau pesan linguistik adalah pesan yang digunakan dalam komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai media. Pesan verbal ditransmisikan melalui kombinasi bunyi-bunyi bahasa dan digunakan untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud. Dengan kata lain, pesan verbal adalah pesan yang diungkapkan melalui bahasa, yang menggunakan kata-kata sebagai representasi realitas atau makna.

Sebagaimana halnya dengan sistem komunikasi yang lain, pesan dalam komunikasi verbal disampaikan melalui dua jenis sinyal, yakni tanda-tanda (signs) dan simbol-simbol (Krauss, 2002). Tanda-tanda adalah sinyal yang memiliki hubungan sebab (causal) dengan pesan yang diungkapkan. Sebagai contoh, kita mengatakan bahwa jika seseorang meringis hal itu berarti dia sedang merasa kesakitan, karena rasa sakit merupakan sebuah penyebab mengapa orang meringis. Simbol-simbol merupakan produk konvensi sosial. Oleh karena itu maknanya didasarkan pada kesepakatan yang dibuat oleh para pengguna atau penutur. Sebagai contoh, bagi orang Indonesia, kumpulan bunyi yang menghasilkan kata “rumah” bermakna bangunan yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal karena memang disepakati demikian. Tidak ada alasan intrinsik mengapa konsep “bangunan yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal” tidak diungkapkan dengan kata yang lain, dan mengapa konsep tersebut diungkapkan dengan sekumpulan bunyi bahasa yang berbeda.

Kelebihan dan Keterbatasan Pesan Verbal sebagai Sarana Pengiriman Makna.

Bahasa merupakan satu-satunya sistem simbol dan sekaligus media paling efektif yang digunakan manusia sebagai sarana berkomnikasi. Efektivitas tersebut dimungkinkan oleh tiga aspek bahasa: semanticity, generativity dan displacement (Krauss, 2002). Aspek semanticity merujuk pada hakikat kata-kata (unsur utama bahasa) sebagai simbol yang merepresentasikan objek atau realitas tertentu. Dengan kata-kata, kita dapat menamai atau memberi label pada tindakan, pemikiran, perasaan, atau orang sehingga kita dapat mengindentifikasi atau merujuknya tanpa harus menghadirkannya secara langsung. Aspek generativity (kadang-kadang disebut productivity) merujuk pada kemampuan bahasa untuk menghasilkan pesan-pesan bermakna dalam jumlah tak terbatas melalui kombinasi sejumlah simbol linguistik yang sangat terbatas. Sebagai contoh, hanya dengan menggunakan tiga fonem /a/, /i/, dan /r/ kita bisa membentuk kata ‘air’, ‘Ira’, ‘ria’ dan ‘ari’. Aspek displacement merujuk pada kemampuan bahasa untuk digunakan sebagai sarana untuk membicarakan sesuatu yang ‘jauh’ dalam konteks ruang dan waktu, atau sesuatu yang ada hanya dalam imajinasi. Kombinasi antara kemampuan bahasa untuk menghasilkan pesan-pesan baru yang bermakna dalam jumlah tak terhingga tanpa dibatasi ruang dan waktu dengan kemampuan kognitif manusia untuk memanfaatkan ketiga aspek tersebut memungkinkan berlangsungnya komunkasi yang sangat efektif dan adaptif.

Disamping berbagai kelebihan yang dimilikinya sebagai sarana penyampaian makna, bahasa juga memiliki berbagai kelemahan yang timbul dari: (a) keterbatasan yang dimiliknya dan (b) faktor psikologis para komunikan, khususnya pemikiran dan perilaku yang menghambat penyampaian makna, yang lebih dikenal dengan word barriers. Mulyana (2007: 269-280), menjelaskan empat keterbatasan bahasa berikut sebagai penyebab kelemahannya dalam menyampaikan maksud.

1. Jumlah kata yang tersedia dalam setiap bahasa sangat terbatas sehingga tidak semua objek dalam realita dapat diwakili oleh kata-kata. Bahasa Inggris yang pada tahun 1993 diperkirakan memiliki 450.000 kata (Huda, 1999) dan merupakan bahasa terkaya dengan kosa kata, misalnya, terus menambah kosa kata agar dapat merepresentasikan semakin banyak objek.

2. Kata-kata memiliki makna yang ambigu dan kontekstual. Kata-kata bersifat ambigu karena hubungan antara kata dan objek yang diwakilinya bersifat arbitrer (semena-mena). Kata tidak merujuk pada objek tetapi pada persepsi dan interpretasi orang sebagai wakil objek tersebut. Sebagai contoh, ungkapan “Ruangan ini panas” dan “Mangga ini manis” sebenarnya hanya menunjukkan asumsi dan pengecapan si pembicara bahwa ruangan itu panas dan mangga itu manis. Bagi orang lain mungkin saja ruangan iu sejuk dan mangga itu “asam”. Ambiguitas kata juga terlihat dari kenyataan bahwa makna kata sangat tergantung pada konteksnya. Kata ‘panas’ dalam konteks “kopi panas” berbeda dengan “uang panas” atau “hati yang panas” atau “adegan panas”.

3. Makna kata-kata bersifat bias karena dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan. Menurut hipotesis relativitas linguistik yang diajukan Sapir dan Whorf (dalam Mulyana 2007: 276), setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas, yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin, dan kebutuhan pemakainya. Akibatnya, setiap bahasa membuat para penuturnya memandang dan berpikir tentang realitas dengan cara yang khas dan berperilaku dengan cara yang khas pula. Secara lebih spesifik, Whorf menegaskan hipotesis itu dengan mengatakan: (1) tanpa bahasa manusia tidak dapat berpikir; (2) bahasa mempengaruhi persepsi; dan (3) bahasa mempengaruhi pola pikiran. Esensi bahasa dalam aktivitas berpikir terungkap dengan jelas melalui kenyataan bahwa ketidakmampuan suku-suku primitif memikirkan hal-hal yang ‘canggih’ bukan karena mereka tidak dapat berpikir, tetapi karena bahasa mereka tidak dapat memfasilitasi mereka untuk melakukannya (Miller, 1983: 176). Pengaruh bahasa terhadap persepsi dapat dilihat, misalnya, melalui ungkapan “Time flies”, “El reloj anda” (waktu berjalan, bahasa Spanyol) dan “Waktu berjalan” yang mengungkapkan perbedaan persepsi orang Amerika, orang Spanyol dan orang Indonesia tentang waktu. Orang Amerika selalu bergegas dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, sedangkan orang Spanyol dan orang Indonesia cenderung memandang hidup lebih santai (Rahmat, 2005 :274). Pengaruh bahasa terhadap pola pikiran dapat dilihat pada perbandingan kata-ganti orang pertama dan kedua dalam bahasa Sunda dan bahasa Inggris. Dalam bahasa Sunda terdapat tujuh kata ganti orang pertama (abdi, kuring, uing, urang, kula, dewek, dan aing) dan lima kata ganti orang kedua (andika, anjeun, maneh, silaing, dan sia. Sedangkan bahasa Inggris hanya memiliki satu kata ganti orang pertama (I) dan satu kata ganti orang kedua (you). Fenomena ini, menurut Mulyana (2007: 278), memaksa penutur bahasa Sunda untuk memandang orang-orang yang dihadapi dengan strata atau kategori tertentu. Sedangkan bahasan Inggris membuat para penuturnya bersikap egaliter.

4. Orang cenderung mencampuradukkan fakta, penafsiran, dan penilaian karena kekeliruan persepsi sewaktu menggunakan bahasa. Sebagai contoh, bagaimana orang menggambarkan seorang pria dewasa yang dengan tekun memotong rumput di sebuah halaman rumah pada hari kerja pukul o7.00 pagi? Sebagian orang akan menafsirkan pria itu sedang bekerja (karena secara fakual dia memotong rumput) dan tergolong pekerja yang rajin (penilaian) karena dia sudah bekerja dengan tekun meskipun hari masih pagi. Akan tetapi, jika fakta lain, bahwa pekerjaan tetap pria itu adalah sebagai dokter, diketahui, maka penafsiran tadi akan berubah menjadi “pria itu sedang bersantai”.

Seperti dikatakan sebelumnya, kelemahan pesan verbal juga disebabkan oleh faktor psikologis para komunikan, khususnya pemikiran dan perilaku yang menghambat penyampaian makna, yang dikenal dengan word barriers. Menurut Devito (1995), terdapat tujuh bentuk word barrier yang paling umum, seperti diuraikan dalam Tabel 1 berikut.

Tabel 1: Daftar Tujuh Word Barrier yang Umum

No

Barrier

Definisi

Contoh

1

polarisasi

Kecenderungan untuk melihat dan menggambarkan dunia dalam dua kutub yang ekstrim, seperti baik atau buruk, pintar atau bodoh, positif atau negatif.

· Saya tidak dapat menentukan siapa tokoh baik dan tokoh jahat dalam novel ini.

· Nah, sekarang apakah kamu mendukung kami atau tidak?

2

orientasi intensional

Kecenderungan untuk memandang orang, objek, atau peristiwa berdasarkan label atau julukan yang diberikan, bukan berdasarkan hakikat (eksistensi apa adanya)

· Kucing adalah binatang piaraan terbaik di dunia.

· Saya tidak suka pada anjing. Tolong singkirkan gambar anjing itu jauh-jauh.

3

by-passing

Kegagalan mengkomunikasikan makna karena para komunikan memberikan makna yang berbeda pada kata yang sama atau meggunakan kata-kata yang berbeda dengan makna yang sama.

· Ketika di Yogyakarta, saya sering makan beton1 dan balok.2

Ÿ A: Jack kelihatannya kurang bernafsu kuliah di S2.

Ÿ B: Tapi, menurut pendapatku dia kurang termotivasi.

4

Fact-inference confusion

Kegagalan membedakan fakta dari opini atau kesimpulan dan mengaggap opini sebagai fakta.

· Celline Dion adalah penyanyi terhebat di dunia (opini). Semua orang pasti memujanya.

5

allness

Kecenderungan untuk membuat generalisasi prematur dengan menggunakan apa yang sudah diketahui tentang sesuatu sebagai dasar generalisasi yang valid.

· Bagian awal buku ini sangat tidak menarik. Jadi, bagian-bagian selanjutnya pasti tidak menarik.

6

evaluasi statis

Kecenderungan untuk menggambarkan realitas sebagai hal yang statis atau tidak berubah.

· Anak-anak zaman sekarang sudah sangat enderung durhaka karena berani mendebat pendapat orangtua mereka. Saya dulu tidak berani membantah ucapan ayah saya.

7

kegagalan membedakan

Kecenderungan mengelompokkan individu-individu dalam kelompok-kelompok tertentu tanpa memperhitungkan keunikan masing-masing individu.

· Politisi X dan Y terkenal dengan kelicikannya. Karena ayahmu seorang politisi pastilah dia licik.

· Sepupumu Wulan seorang bintang film? Dia pasti cantik dan mempesona.

1biji nangka rebus

2singkong goreng

Pesan Nonverbal

Secara sederhana, pesan nonverbal didefinisikan sebagai semua tanda atau isyarat yang tidak berbentuk kata-kata. Samovar dan Proter (dalam Mulyana, 2007: 343), secara lebih spesifik, mendefinisikannya sebagai “semua ransangan (kecuali ransangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh indivdu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima.” Jadi, pesan nonverbal mencakup seluruh perilaku yang tidak berbentuk verbal yang disengaja atau tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan. Berdiam diri juga merupakan pesan nonverbal jika hal itu memberi makna bagi pengirim atau penerima. Devito (2002: 134) menegaskan: “You communicate nonverbally when you gesture, smile or frown, widen your eyes, move your chair closer to someone, wear jewelry, touch someone, or raise your vocal volume—and when someone receives these signals. Even if you remained silent and someone attributed meaning to your silence, communication would have taken place”.

Dalam komunikasi interpersonal, secara umum, penyampaian maksud (makna) akan berlangsung efektif bila komunikator memadukan kedua bentuk pesan tersebut. Bahkan dalam rangka mengkomunikasikan perasaan, pesan nonverbal berperan lebih dominan. Penelitian Mehrabian (dalam Beebe dkk., 1999: 214) mengungkapkan bahwa 55% pesan berbentuk emosi disampaikan melalui saluran ekstralinguistik, 38% melalui saluran paralinguistik dan hanya 7% melalui saluran verbal. Oleh karena itu, untuk menjamin efektivitas penyampaian pesan dalam komunikasi interpersonal, interaksi antara pesan verbal dan nonverbal harus diberdayakan.

Untuk menjelaskan esensi interaksi pesan verbal dan nonverbal dalam penyampaian makna, Devito (1995: 175-176) menguraikan enam fungsi pesan nonverbal dalam komunikasi interpersonal. Pertama, fungsi aksentuasi, yang digunakan untuk membuat penekanan pada bagian tertentu pesan nonverbal, komunikator sering menggunakan pesan nonverbal, seperti meaninggikan nada suara atau menggebrak meja. Kedua, fungsi komplemen, yang digunakan untuk menyampaikan nuansa tertentu yang tidak dapat diutarakan melaui pesan verbal, pembicara akan menggunakan pesan nonverbal. Sebagai contoh, dia akan akan mengerenyitkan kening dan menggelengkan kepala untuk melengkapi pesan “Saya tidak setuju!” yang telah disampaikannya melalui pesan verbal. Ketiga, fungsi fungsi kontradiksi, yang digunakan untuk mempertentangkan pesan verbal dengan pesan nonverbal dalam rangkan mencapai maksud tertentu. Misalnya, untuk menunjukkan bahwa dia hanya ‘berpura-pura’, pembicara dapat mengedipkan mata sewaktu mengucapkan pernyataan tertentu. (pesan nonverbal). Keempat, fungsi regulasi, yang digunakan untuk menunjukkan bahwa komunikator ingin mengatakan sesuatu, dengan cara membuat isyarat tangan atau mencondongkan tubuh ke depan. Kelima, fungsi repetisi, yang digunakan untuk mengulangi maksud yang disampaikan melalui pesan verbal, seperti “Kamu menerima lamarannya?” dengan menaikkan alis mata dan menunjukkan ekspresi wajah tidak percaya. Keenam, fungsi substitusi, yang digunakan untuk mengganti pesan verbal tertentu seperti “Saya tidak setuju” dengan pesan nonverbal berupa gelengan kepala.

Tinjauan Psikologis Terhadap Peran Pesan Nonverbal

Mengingat perannya yang begitu penting dalam penyampaian makna, diperlukan pemahaman yang baik tentang dimensi psikologis, khususnya permasalahan tentang bagaimana pesan nonverbal dapat mendukung atau menghambat efektivitas komunikasi. Pemahaman tentang hal ini diharapkan dapat membantu dalam melaksanakan komunikasi secara efektif. Untuk tujuan ini, uraian Leathers (dalam Rahmat, 2005: 287-289) tentang enam alasan mengapa pesan nonverbal sangat penting dapat dijadikan sebagai acuan.

Pertama, faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Dalam setiap komunikasi tatap muka, secara sadar atau tidak, komunikator banyak menyampaikan pesan-pesan nonverbal. Sebaliknya, komunikate lebih banyak “membaca” pikiran komunikator melalui petunjuk-petunjuk nonverbal. Sebagai contoh, ketika seorang pria mengetahui lamarannya untuk memperistri gadis pujaannya ditolak, dia mungkin mengatakan, “Ya, sudah. Tidak jadi masalah”, namun ekspresi wajah dan tatapan matanya mungkin menunjukkan kekecewaan yang sangat mendalam.

Kedua, perasaan dan emosi terungkap lebih cermat melalui pesan non-verbal daripada pesan verbal. Bila pesan verbal lebih sesuai digunakan untuk menyampaikan fakta, ilmu, atau keadaan, pesan nonverbal lebih potensial untuk menyatakan perasaan (Mulyana, 2007: 349). Kenyataan inilah yang membuat seseorang mengalami kesulitan untuk mengungkapkan kerinduan terhadap pacarnya melalui surat dibandingkan melalui pertemuan langsung. Melalui surat, akan sulit baginya menggambarkan debaran jantung, getaran suara, dan kesayuan tatapan mata karena memendam rindu. Sedangkan melalui pertemuan langsung semua hal itu dapat dilakukan dengan mudah.

Ketiga, pesan nonverbal menyampaikan makna (maksud) yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang dimodifikasi secara sadar, kecuali oleh actor-aktor yang terlatih. Oleh karena itu, komunikator biasanya lebih jujur ketika berkomunikasi melalui pesan nonverbal; dan sebaliknya, komunikate lebih percaya pada pesan nonverbal daripada pesan nonverbal. Dalam situasi komunikasi “double-binding”—ketika pesan verbal bertentangan dengan pesan nonverbal—orang bersandar pada pesan nonverbal. Ketika seorang dosen mengatakan dia memiliki waktu untuk berdiskusi dengan mahasiswa tapi kemudian berkali-kali melihat arlojinya, sang mahasiswa biasanya akan segera mendeteksi bahwa sang dosen tidak memiliki waktu.

Keempat, pesan nonverbal memiliki fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Pesan metakomunikatif berfungsi memberikan informasi tambahan untuk memperjelas maksud. Hal itu dilakukan dengan memberdayakan fungsi aksentuasi, repetisi, subsitusi, kontradiksi, dan komplemen pesan nonverbal bagi pesan verbal.

Kelima, pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Pesan verbal sering mengandung redundansi (penggunaan lebih banyak lambing daripada yang dibutuhkan), repetisi, ambiguitas dan abstraksi. Akibatnya, pesan nonverbal cenderung lebih efisien dalam hal penggunaan waktu.

Keenam, pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Dalam situasi tertentu, kita perlu mensugesti (mengungkapkan saran, gagasan atau emosi secara tersirat). Hal ini biasanya paling efektif disampaikan melalui pesan nonverbal. Sebagai contoh, mensugesti anak kecil untuk membuang sampah pada tempatnya paling efektif dilakukan melalui keteladanan.

Tantangan dalam Mempelajari Pesan Nonverbal dan Klasisifikasi Pesan Nonverbal

Dibandingkan dengan studi komunikasi verbal, studi komunikasi nonverbal masih relatif baru. Akibatnya, referensi tentang pesan nonverbal masih sangat terbatas. Kamus yang dapat digunakan untuk membantu mengiterpretasikan makna kata tersedia cukup berlimpah, namun kamus atau buku-buku yang dapat menolong kita memahami makna pesan nonverbal belum tersedia. Beebe, dkk. (1999: 218-219) menjelaskan empat tantangan yang akan ditemukan dalam upaya memahami pesan-pesan nonverbal.

1. Pesan Nonverbal Bersifat Ambigius

Berbeda dengan makna kebanyakan kata-kata suatu bahasa yang dikenal para penuturnya, makna pesan verbal mungkin hanya dipahami oleh individu yang menggunakannya. Bahkan tidak jarang yang bersangkutan dengan sengaja bermaksud mengungkapkan pesan itu. Sebagian orang tidak dapat mengungkapkan emosinya secara nonverbal, dan sebagian lagi tidak dapat menggunakan pesan nonverbal karena kelainan fisik atau memiliki suara yang monoton. Oleh karena itu, makna pesan nonverbal bisa multitafsir.

2. Pesan Nonverbal Bersifat Berkesinambungan

Berbeda dengan kata-kata yang dapat diidentifikasi bagian awal, pertengahan, dan akhirnya, pesan nonverbal tidak dapat dipisah-pisah ke dalam bagian-bagian. Gerak-gerik tubuh, ekspresi wajah, atau tatapan mata dapat berpindah dari satu situasi ke situasi lainnya tanpa tanda-tanda peralihan yang jelas. Bagi para peneliti, sifat komunikasi nonverbal yang mengalir secara berkesinambungan ini membuatnya sulit diteliti dan diinterpretasi.

3. Pesan Nonverbal Bersifat Multi Saluran

Pada umumnya, pesan nonverbal yang diungkapkan komunikator dan, sebaliknya, yang ditangkap komunikate, tidak satu per satu, tetapi beberapa pesan sekaligus. Ketika seseorang berpidato, pesan nonverbal yang dikirimkannya pada saat bersamaan bisa berbentuk cara berdiri, gerakan tangan, ekspesi wajah, dan tatapan mata. Sambil mendengar pesan verbal yang disampaikan, setiap hadirin cenderung menginterpretasi salah satu pesan nonverbal saja.

4. Pesan Nonverbal Terikat pada Budaya

Berbagai penelitian menunjukkan adanya pesan nonverbal yang universal, seperti tersenyum ketika berbahagia, murung ketika berduka, menaikkan alis mata ketika bertemu dengan orang lain, dan anak-anak menaikkan lengannya jika ingin digendong atau menghisap jari jempol untuk memperoleh ketenangan. Akan tetapi, sebagian besar pesan nonverbal dikembangkan dalam bentuk dan makna yang berbeda-beda. Dengan kata lain, pesan nonverbal terikat pada budaya. Perbedaan-perbedaan kultural dalam menginterpretasi pesan nonverbal yang diuraikan Beebe, dkk. (1999: 219) merupakan contoh tentang keterikatan pesan nonverbal pada budaya. Orang Arab, Amerika Selatan dan Yunani menggunakan kontak mata yang lebih intensif dibandingkan orang dari budaya lain. Orang Inggris membuat antrian dalam bentuk garis lurus, sedangkan antrian orang Prancis terlihat lebih ‘berserakan’.

Klasisifikasi Pesan Nonverbal

Menurut Rahmat (2005: 289), hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang klasifikasi pesan nonverbal. Salah satu klasifikasi yang sering digunakan adalah pengelompokan pesan verbal ke dalam tiga jenis utama: (1) pesan nonverbal visual, yang meliputi kinesik, proksemik, dan artifaktual; (2) pesan nonverbal auditif, terdiri dari pesan paralinguistic; dan (3) pesan nonverbal nonvisual nonauditif, yang meliputi sentuhan (tactile) dan penciuman (olfactory).

Pesan kinesik dibentuk dengan menggunakan gerakan tubuh, yang terdiri dari tiga komponen utama: pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural. Pesan fasial menggunakan ekspresi wajah untuk menyampaikan paling tidak sepuluh makna, yaitu: kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad (Rahmat, 2005: 289).

Pesan gestural menggunakan gerakan sebagian anggota tubuh untuk menyampaikan makna tertentu. Menurut Devito (2002: 136), penelitian di bidang kinesik telah mengidentifikasi lima jenis gerakan utama yang digunakan untuk menyampaikan pesan, yakni emblem, illustrator, affect displays, regulators, dan adaptors. Emblem merupakan gerakan tubuh yang langsung membentuk symbol yang setara dengan symbol verbal, seperti membentuk lingkaran dengan jari jempol dan telunjuk sebagai simbol “OK“, dan membentuk huruf “V” dengan telunjuk dan jari tengah sebagai symbol “victory”. Illustrator berfungsi memperkuat pesan verbal yang disertainya. Sebagai contoh, untuk merujuk sesuatu yang ada disebelah kiri, dia dapat menggerakkan tangan, atau kepala, atau tubuh kearah kiri. Afect display merpakan gerakan wajah atau tangan, atau anggota tubuh lain yang digunakan untuk menyampaikan pesan emosional, seperti tersenyum untuk menunjukkan rasa puas, atau mengacungkan tinju ke udara untuk menunjukkan tekad atau menantang orang lain. Regulator merupakan gerakan yang digunakan untuk memonitor, mengkoordinasi, mengontrol, atau mempertahankan jalan pembicaraan. Anggukan kepala, misalnya, bisa bermakna agar lawan bicara meneruskan komentarnya. Adaptor merupakan gerakan yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan personal, seperti menggarut kulit tangan yang gatal atau menyingkirkan rambut dari pelupuk mata.

Pesan postural berkenaan dengan seluruh anggota tubuh. Menurut Mehrabian (dalam Rahmat, 2005: 290), terdapat tiga makna yang dapat disampaikan postur: immediacy, power, dan responsiveness. Immediacy adalah ungkapan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap individu lain. Tubuh yang dicondongkan kearah lawan bicara menunjukkan kesukaan dan penilaian positif. Power digunakan untuk mengungkapkan status yang lebih tinggi pada diri komunkator. Responsiveness merupakan gerakan keseluruhan tubuh yang digunakan untuk menunjukkan respon atau reaksi terhadap komunikator. Orang yang tidak bergeming meski telah diajak bicara menunjukkan sikap enggan dan tidak responsif.

Tabel 2: Jenis Hubungan berdasarkan Jarak Proksemik

Jenis Jarak

Jarak

Contoh

Intim


0-16” (Fase Dekat)

Pasangan yang berpelukan

16-18” (Fase Jauh)

Ibu & anak membaca buku bersama; sahabat dekat yang membicarakan suatu rahasia.

Personal


18””-30” (Fase Dekat)

Orang tua & anak membicarakan sesuatu

30”-4’ (Fase Jauh)

Sekelompok teman mengobrol sambil minum kopi.

Sosial


4’-7’” (Fase Dekat)

Obrolan teman sekerja, pembicaraan bisnis yang impersonal.

7’-12’ (Fase Jauh)

Diskusi bisnis yang formal, mengambil jarak agar bisa konsentrasi membaca.

Publik


12’-25’ (Fase Dekat)

Dosen mengajar di kelas

25’ atau lebih (Fase Jauh)

Pidato dalam kampanye di ruang terbuka

Pesan proksemik dibentuk melalui pengaturan jarak dan ruang. Pada umumnya, pengaturan jarak ini memperlihatkan keakraban para komunikan (Liliweri, 2003: 99). Hall (dalam Devito, 2002: 141-142) membedakan empat macam jarak yang digunakan orang Amerika yang menunjukkan tipe keakraban hubungan anatar komunikan dan jenis komunikasi yang sedang mereka lakukan: intim, personal, social, dan publik. Secara lebih spesifik, jenis-jenis jarak itu diuraikan dalam table 2 di atas.

Pesan artifaktual diungkapkan melalui penampilan dan penggunaan barang-barang buatan manusia, seperti pakaian, perhiasan, kosmetik, penggunaan warna, dan dekorasi serta perabotan ruangan. Makna pesan artfaktual sangat tergantung pada kebudayaan penggunanya. Pakaian, kosmetik dan perhiasan-perhiasan yang dikenakan mengungkapkan pesan-pesan tentang status si pemakai. Warna menyampaikan makna yang berbeda-beda dalam kebudayaan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, di Cina, warna merah menandakan kesejahteraan dan kelahiran kembali dan digunakan untuk pesta-pesta dan perayaan-perayaan sukacita; di Prancis dan Inggris, bermakna kejantanan; di beberapa Negara di Afrika, kutukan atau kematian; di Jepang kemarahan dan mara bahaya. Ruang tamu yang dilengkapi dengan perabotan mahal biasanya dimaksudkan sebagai cermin prestise pemilik rumah.

Pesan paralinguistik dibentuk oleh nada, kualitas suara, volume, kecepatan, ritme yang digunakan ketika berbicara, dan berdiam diri. Nada suara dapat mengungkapkan gairah, ketakutan, kesedihan, kesungguhan, atau kasih sayang. Volume suara dapat menunjukkan kemarahan atau penegasan. Berdiam diri digunakan dengan cara yang beragam dalam budaya yang berbeda, seperti menyediakan waktu untuk berpikir, menyembunyikan rasa cemas, mencegah komunikasi, atau menunjukkan ekecewaan.

Pesan sentuhan dan penciuman termasuk bidang yang masih sangat jarang diteliti. Padahal kedua jenis pesan ini termasuk jenis komunikasi manusia yang paling primitif. Menurut Devito (2002: 146-147) terdapat lima jenis makna yang diungkapkan lewat sentuhan: untuk mengungkapkan perasaan positif, untuk menunjukkan niat, member dorongan (semangat), mengucapkan selamat tinggal/selamat jalan, atau dalam rangka melakukan pekerjaan tertentu, seperti menuntun seseorang keluar dari mobil. Wewangian digunakan untuk mengirimkan pesan ketertarikan, cita rasa, memori dan identifikasi tentang hal-hal ertentu.

Pesan dan Makna

Paparan tentang pesan verbal dan nonverbal di atas, diharapkan dapat menjadi landasan yang memadai untuk membahas apa yang dimaksud dengan makna dan bagaimana makna disalurkan melalui pesan oleh komunikator kepada komunikate. Untuk tujuan itu berikut ini diuraikan karakteristik makna dan pesan yang diadaptasi dari penjelasan Devito (1995: 176-186).

Karakteristik Makna

1. Makna ditentukan oleh orang

Makna tidak hanya ditentukan oleh pesan (baik verbal, nonverbal, atau keduanya) tetapi juga oleh interaksi pesan-pesan itu dan pikiran serta perasaan komunikate. Ketika berkomunikasi, komunikate tidak hanya ‘menerima’ makna tetapi ‘menciptakan’ makna. Oleh karena itu, pemahaman atas suatu makna tidak dapat dilakukan hanya dengan menganalisis pesan, tetapi juga dengan memahami pengirimnya. Sebagai contoh, makna berupa pujian yang menyatakan seseorang berotak cerdas cenderung dimaknai sebagai penghinaan bila hal itu disampaikan ketika orang tersebut baru mengetahui dia gagal dalam sebuah ujian.

2. Makna yang disampaikan lewat pesan verbal dan nonverbal tidak lengkap

Penyampaian pikiran atau perasaan dilakukan komunikator dengan menggunakan seperangkat simbol. Pada dasarnya simbol-simbol itu mewakili hanya sebagian dari totalitas pikiran atau perasaan yang ngin disampaikan. Jika pikiran atau perasaan itu harus diungkapkan hingga detil yang paling kecil, dibutuhkan waktu yang sangat panjang. Akibatnya, komunikasi akan berlangsung dalam waktu yang sangat lama dan membosankan.

Karena makna yang diterimanya dari orang lain bukan makna yang utuh, setiap komunikate hanya dapat mengestimasi makna tersebut berdasarkan pesan yang diterima dengan menggunakan pikiran dan perasaannya sendiri.

3. Makna bersifat unik

Karena makna ditentukan oleh pesan yang diterima dan pikiran serta perasaan komunikate, orang yang berbeda tidak pernah menginterpretasi sebuah pesan dengan makna yang sama. Bahkan, karena setiap individu berubah, pesan yang diterima oleh seseorang pada saat yang berbeda akan diinterpretasikan dengan makna yang berbeda. Pesan “I love you” yang diterima pemuda berusia 20 tahun dari pacarnya, misalnya, akan diberi makna yang berbeda oleh orang tersebut ketika dia berusia 50 tahun.

4. Makna mencakup makna denotatif dan konotatif

Makna denotatif adalah definisi objektif dari kata atau pesan nonverbal dan bersifat universal. Makna konotatif merupakan makna subjektif dan bersifat emosional. Anggukan kepala yang normal, yang digunakan untuk merespon pertanyaan “Kamu setuju?” mengungkapkan makna denotatif. Namun bila anggukan kepala itu disertai dengan kedipan mata atau senyuman sehingga terkesan tidak biasa, makna yang terungkap lebih cenderung bersifat konotatif.

5. Makna harus didasarkan pada konteks

Kata atau tingkah nonverbal yang sama bisa mengungkapkan makna yang sangat berbeda bila digunakan dalam konteks yang berbeda. Ugkapan “Apa kabar?” yang disampaikan ketika berpapasan dengan seorang teman bermakna “Halo”. Tapi bila ungkapan itu disampaikan ketika mengunjungi teman yang sakit, makna yang terunkap adalah “Sudah tambah sehat?”. Contoh lain, meninju meja pada saat melakukan debat di parlemen mengungkapkan ketidaksetujuan pada isu yang dibicarakan. Akan tetapi, bila ekspresi nonverbal yang sama dilakukan seseorang begitu mendengar kabar kematian seorang teman akrabnya, hal itu bermakna kesedihan yang mendalam.

Karakteristik Pesan

Disamping karakteristik makna, pemahaman tentang karakteristik pesan juga sangat dibutuhkan sebagai landasan untuk mengetahui bagaimana makna disalurkan melalui pesan oleh komunikator kepada komunikate. Berikut ini merupakan uraian tentang lima karakteristik pesan yang diadaptasi dari penjelasan Devito (1995: 178-186). Pemahaman yang baik tentang bagaimana makna disalurkan melalui pesan oleh komunikator kepada komunikate diharapkan dapat memampukan kita mengontrol pesan yang kita sampaikan kepada orang lain.

1. Pesan berbentuk paket

Pada saat berkomnikasi, seluruh bagian sistem komunikasi—alat-alat ucap dan bagian-bagian tubuh yang mengungkapkan pesan nonverbal—biasanya bekerjasama untuk menyampaikan suatu kesatuan makna (unified meaning). Ketika seseorang mengungkapkan kemarahan dengan kata-kata, getaran dan volume suara, ekspresi wajah, sorot mata, dan sikap tubuhnya juga memancarkan pesan kemarahan itu. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pesan selalu diungkapkan dalam satu paket gabungan antara unsur-unsur verbal dan nonverbal. Paket pesan ini biasanya dianggap sebagai hal yang wajar sehingga tidak begitu diperhatikan komunikate kecuali dia mendeteksi adanya double-bind messages, atau kontradiksi antara pesan verbal dan pesan nonverbal yang digunakan. Respon yang diberikan seorang suami kepada istrinya yang bertanya, “Baju baruku ini cantik, nggak, pa?” (sambil berputar-putar di depan cermin) dengan mengatakan, “Ya, cantik sekali!” (tapi tetap asik membaca Koran dan tidak menoleh sedikitpun) merupakan sebuah contoh pesan double-bind. Dalam kasus ini, meskipun pesan verbal yang disampaikan bersifat positif, pesan nonverbalnya bersifat negatif. Mendeteksi pesan-pesan yang kontradiktif itu, secara otomatis akan mendorong komunikate untuk mempertanyakan kredibilitas dan ketulusan komunikator.

Pesan double-binding disebabkan oleh niat untuk mengkomunikasikan dua perasaan atau emosi sekaligus (Beier dalam Devito, 1995: 180). Dalam kasus respon suami di atas, sebagai contoh, sang suami berniat menyampaikan persetujuaannya bahwa baju itu cantik, namun pada saat yang sama dia juga ingin mengungkapkan kekesalannya karena sang istri terlalu sering membeli baju baru, atau karena hal-hal lain.

2. Pesan dibentuk dengan menggunakan kaidah tertentu

Setiap pesan yang dibentuk dan diungkapkan dengan menggunakan kaidah-kaidah tertentu. Pesan verbal dibentuk dan digunakan dengan mengikuti aturan-aturan gramatika dan pragmatik yang berlaku dalam bahasa itu. Pesan nonverbal juga dibentuk dan diungkapkan berdasarkan seperangkat norma atau peraturan yang menggariskan tingkah-laku nonverbal apa yang sesuai, diizinkan, atau diharapkan dalam situasi sosial tertentu. Karena norma yang berlaku dalam setaip masyarakat berbeda-beda, pesan nonverbal tertentu mungkin saja mengungkapkan makna yang berbeda-beda. Daftar berikut menjelaskan makna beberapa ungkapan nonverbal yang dianggap tabu dalam beberapa budaya yang berbeda.

· Mengedipkan mata dianggap tidak sopan di Taiwan.

· Melipat kedua tangan di atas dada dianggap tidak terhormat di Fiji.

· Melambaikan tangan dianggap kasar atau vulgar di Nigeria dan Yunani.

· Menaikkan jari jempol dianggap kasar di Australia.

· Di Mesir, mendempetkan kedua jari telunjuk berarti ada pasangan sedang tidur bersama atau si komunkator mengajak komunikate tidur bersama.

· Menunjuk dengan jari telunjuk dianggap tidak sopan di beberapa negara Timur Tengah.

· Membungkukkan tubuh tidak serendah tuan rumah di Jepang mengungkapkan sang tamu merasa lebih superior.

3. Pesan disampaikan dalam tingkat kelangsungan yang variatif

Sebagian pesan disampaikan secara langsung dan sebagian lagi secara tidak langsung. Pesan langsung ditandai oleh adanya pernyataan langsung mengenai preferensi atau keinginan komunikator, sedangkan dalam pesan tidak langsung si pembicara berupaya menyuruh pendengarnya mengatakan atau melakukan sesuatu tanpa menyatakannya secara eksplisit. Salah satu contoh pesan langsung adalah ketika seseorang melirik arloji untuk menyatakan dia harus segera pergi.

Pesan tidak langsung biasanya digunakan untuk menyatakan sebuah keinginan tanpa terkesan memaksa atau untuk meminta pujian dengan cara yang sopan. Akan tetapi, pesan tidak langsung juga bisa menimbulkan beberapa resiko, yakni kesalahpahaman atau ketidakjelasan. Bahkan, berbeda dengan pesan langsung yang memberi kesan terbuka dan jujur, pesan tidak langsung kadang-kadang member kesan tidak jujur dan manipulatif.

4. Pesan bervariasi dalam tingkat kepercayaan

Terdapat dua alasan mengapa komunikate cenderung lebih mempercayai makna yang terungkap melalui pesan nonverbal ketika dia mendeteksi konflik antara pesan verbal dan nonverbal yang dikirim komunikator. Pertama, pesan verbal lebih mudah dipalsukan. Kedua, pesan nonverbal terbentuk diluar kendali kesadaran individu.

Sinyal nonverbal biasanya dapat digunakan untuk menebak apakah pembicara berbohong atau tidak. Sinyal-sinyal itu juga sangat membantu untuk mengungkapkan kebenaran yang dicoba ditutup-tutupi oleh kebohongan yang dideteksi. Beberapa contoh sinyal yang menunjukkan seseorang sedang berbohong adalah: sering terlihat ragu-ragu dan lebih banyak menggunakan jeda yang panjang; bnyak melakukan kesalahan pengucapan, jarang tersenyum, merespon dengan jawaban-jawaban singkat, seperti “ya” dan “tidak”; banyak menggunakan gerakan tubuh yan tidak perlu; sering mengalihkan pandangan dari pendengar dalam waktu yang cukup lama (Devito, 1995: 185).

5. Pesan dapat digunakan dalam metakomunikasi

Seperti telah dijelaskan pada bagian Tinjauan Psikologis Terhadap Peran Pesan Nonverbal di atas, pesan nonverbal memiliki fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Pesan metakomunikatif berfungsi memberikan informasi tambahan untuk memperjelas maksud. Hal itu dilakukan dengan memberdayakan fungsi aksentuasi, repetisi, subsitusi, kontradiksi, dan komplemen pesan nonverbal bagi pesan verbal.

Kesimpulan

Dalam komunikasi interpersonal yang dilakukan secara tatap muka, makna dikirim oleh komunikator melalui pesan verbal dan noverbal. Seacara terpisah, pesan verbal lebih sesuai digunakan untuk menyampaikan fakta, ilmu, atau keadaan, sedangkan pesan nonverbal lebih potensial untuk menyatakan perasaan. Dalam tataran praktik, komunikator cenderung menggunakan kedua jenis pesan itu secara berdampingan. Akibatnya, Untuk menangkap makna yang disampaikan, komunikate harus mengolah kedua jenis pesan dengan melibatkan pikiran dan perasaanya. Oleh karena itu, makna yang diterima komunikate pada hakikatnya merupakan hasil interaksi antara pesan verbal dengan pesan noverbal dan antara kedua pesan itu dengan pikiran dan emosi komunikate.

Pesan nonverbal dianggap lebih terpercaya daripada pesan verbal. Jika terdapat ketidakcocokan makna diantara keduanya, makna yang dikirim melalui pesan nonverbal dianggap lebih akurat. Selain itu, pesan nonverbal dapat digunakan untuk memeriksa validitas dan kebenaran pesan verbal. Sehubungan dengan itu, untuk meningkatkan kemampuan berkomunkasi, setiap individu perlu meningkatkan keterampilannya dalam menginterpretasi dan mengontrol penggunaan pesan verbal maupun nonverbal. Hal ini memang tidak mudah dilakukan mengingat bahwa mayoritas pesan nonverbal sangat ditentukan oleh kebudayaan. Setiap pesan yang diterima harus diinterpretasi dalam konteks situasi dan budaya yang sesuai.

Daftar Pustaka

Beebe, Steven A., Beebe, Susan J. and Redmon Mark V. 1999. Interpersonal Communication: Relating to Others. Boston: Allyn and Bacon.

Devito, Joseph A. 1995. The Interpersonal Communication Book. New York: Harper Collins College Publishers.

_______ 2002. Human Communication, The Basic Course 9/E (Sample Chapter). Diunduh pada tanggal 20 Oktober 2008 dari: http://www.ablongman.com/devito.

Huda, Nuril. 1999. “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Asing”. Makalah, dipresentasikan pada Seminar Politik Nasional, Cisarua, Bogor, 9-11 November 2009.

Krauss, Robert M. 2002. “The Psychology of Verbal Communication”. An article published in the International Encyclopedia of the Social and Behavioral Science, 2002.

Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Miller, George A. 1974. Psychology and Communication.Washington D.C.: Voice of America.

Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rahmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.



« Tugas Individual, dipresentasikan pada perkuliahan Psikologi Komunikasi PS Linguistik Terapan PPS UNJ Jakarta pada hari Selasa, 30 Desember 2008.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENULIS DENGAN KUTIPAN

Parlindungan Pardede A. Pengertian Kutipan Dalam penulisan karya ilmiah, seperti artikel, jurnal, skripsi, maupun disertasi, seringkali digunakan berbagai kutipan--pinjaman pendapat atau ucapan seseorang—untuk mendukung, menjelaskan, membuktikan, atau menegaskan ide-ide tertentu. Pada umumnya kutipan bersumber dari bahan-bahan tertulis, seperti buku, majalah, jurnal, surat kabar, dan website. Akan tetapi, kutipan juga bisa diambil dari penuturan lisan, seperti wawancara, pidato, atau ceramah. Dalam penulisan ilmiah, kutipan yang didasarkan pada penuturan lisan biasanya perlu dimintakan pengesahannya dari penutur yang bersangkutan. Tanpa pengesahan, kutipan seperti ini sering diragukan keabsahannya. Penggunaan kutipan dalam suatu tulisan merupakan suatu hal yang wajar dan bahkan sangat efektif untuk menghemat waktu. Adalah suatu pemborosan waktu bila seorang penulis harus menyelediki kembali suatu kebenaran yang telah diteliti, dibuktikan dan dimuat secara luas dalam sebuah buku, majala

PANDUAN PRAKTIS UNTUK MENGAJARKAN PERCAKAPAN BAHASA BATAK

Parlin Pardede (FKIP-UKI Jakarta) Pendahuluan Dalam hidupnya, setiap orang perlu berkomunikasi dengan orang lain. Karena alat media komunikasi manusia utama adalah bahasa, maka setiap orang normal biasanya menguasai minimal satu bahasa, yaitu bahasa ibunya. Orang seperti ini disebut “monolingualis”, seperti “halak hita” yang seumur hidupnya tidak pernah keluar dari kampungnya, tidak pernah berhubungan dengan orang atau kebudayaan di luar Batak (baik melalui pendidikan, pergaulan, atau media—seperti buku, TV, Koran, radio, dll.). Tidak sedikit orang, khususnya yang berhubungan dengan orang atau budaya dari luar budayanya, yang menguasai dua, tiga, atau lebih banyak bahasa sekaligus, meskipun dengan tingkat penguasaan yang beragam. Setiap “Halak hita” yang merantau cukup lama ke Jakarta pasti menguasai minimal bahasa Batak (selanjutnya disingkat BB) dan bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI). Orang seperti ini disebut “bilingualis” Mungkin juga dia menguasai satu atau lebih bahasa l